Pendahuluan
Sampai sekarang berita-berita masa lampau tentang seni pertunjukan Sunda masih samar-samar. Prasasti dan naskah-naskah kropak (lontar; nipah) di Sunda tidak ada yang memberitakan tentang seni pertunjukan secara lengkap, dan biasanya hanya terdapat gejalanya saja. Akan tetapi dengan melalui suatu kritik dan perbandingan maka gejala yang terdapat di dalamnya akan bisa menunjukkan kemungkinan terdapatnya keterkaitan dengan seni pertunjukan.
Berdasarkan naskah-naskah Sunda atau naskah lain yang berkaitan dengan Sunda, terdapat empat naskah yang dalam isinya menyebutkan suatu istilah seni pertunjukan atau secara singkat membicarakan keberadaan seni pertunjukan, yaitu naskah Carita Parahiyangan, Sewaka Darma, Bujangga Manik, dan Sanghyang Siksakandang Karesian. Naskah lainnya, Ratu Pakuan danDecadas da Asia, tidak secara langsung menyebutkan adanya suatu istilah atau peristiwa seni pertunjukan, tetapi kata atau kalimat yang terdapat di dalamnya, ada kemungkinan berkaitan dengan istilah yang ada dalam seni pertunjukan. Naskah Kidoeng Soenda (terjemahan dari bahasa Kawi)menyebutkan adanya suatu seni pertunjukan Sunda, tetapi penulis pertama (Kawi) dan tempat penulisannya tidak berada di tempat di mana wilayah kesenian tersebut berada, serta penulisannya dilakukan beberapa tahun setelah peristiwa yang diceritakan dalam naskah terjadi. Prasasti Batutulisdi Bogor tidak memberitakan adanya suatu seni pertunjukan secara langsung, tetapi dalam kata atau kalimatnya terdapat gejala adanya seni pertunjukan pada waktu itu. Tulisan-tulisan itulah yang sampai saat ini diketahui berkaitan dengan seni pertunjukan Sunda pada masa lampau.
Berdasarkan tahun penulisan, ciri huruf, dan isinya, ada empat naskah dan satu prasasti yang berasal dari zaman kerajaan Sunda ketika beribukota di Pakuan abad ke-16. Nama kerajaan pada zaman ini disebut Pajajaran atau Pakuan Pajajaran seperti tertulis dalam beberapa naskah dan prasasti, dan dalam catatan Portugis disebut kerajaan Sunda. Kajian yang terakhir dari ahli-ahli sejarah Sunda menyebutkan kerajaan Pajajaran dimulai ketika raja Sunda dipegang Sri Baduga Maharaja (seperti tercantum dalam prasasti Batutulis). Dia adalah di antara Prabu Siliwangi yang terkenal dalam tuturan masyarakat Sunda. Masa pemerintahannya, tahun 1482—1521, merupakan zaman keemasan kerajaan Pajajaran, kelanjutan kerajaan Sunda dari masa sebelumnya. Naskah-naskah yang berasal dari zaman Pajajaran ini adalah Bujangga Manik (sekitar akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an), Sanghyang Siksakandang Karesian (tahun 1518), dan Carita Parahiyangan(dari tahun 1527-an). Isi naskah Bujangga Manik merupakan catatan perjalanan penulisnya (Bujangga Manik)—dalam bentuk puisi—dari ibukota Pakuan ke tempat-tempat keagamaan di Pulau Jawa dan Bali. Pada bagian pertama Bujangga Manik menulis hal-hal nyata di dunia, yaitu mengenai perjalanan dirinya, tetapi pada akhir catatannya bersifat spiritual (kahyangan; akhirat) yang tidak bersifat duniawi. Sanghyang Siksakandang Karesian menggambarkan konsep keagamaan, kenegaraan, dan keseharian pada zamannya. Carita Parahiyangan dimulai dari zaman yang lebih tua dari penulisannya, yaitu dari masa kerajaan Galuh (abad ke-7). Pada awalnya bersifat dongeng, tetapi selanjutnya bersifat sejarah.
Satu naskah merupakan catatan Portugis pada peristiwa perjanjian dagang dengan kerajaan Sunda (Pajajaran) tanggal 21 Agustus 1522, yaitu Decadas da Asia yang ditulis Joao de Barros. Untukprasasti Batutulis, meskipun tafsir angka pembuatannya yang berbentuk candrasangkala berbeda-beda di antara ahli sejarah, namun berdasarkan kajian terakhir para ahli sejarah Sunda (Saleh Danasasmita di antaranya), candrasangkala prasasti ini mengandung angka tahun 1533 Masehi, dibuat oleh Prabu Surawisesa (1521—1535), anak dan pengganti Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Prasasti ini dibuat untuk peringatan atau mengenang (sakakala) kebesaran ayahnya yang menjadikan Pajajaran mencapai masa keemasan.
Sewaka Darma, berdasarkan hurufnya berasal dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18, tetapi isinya sangat tua, paling tidak dari abad ke-15. Oleh karena itu mungkin naskah ini merupakan naskah salinan. Ratu Pakuan sama berasal dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18, dengan isi cerita menggambarkan akhir abad ke-15. Naskah ini menggambarkan iring-iringan perpindahan Ratu Pakuan (Siliwangi) beserta permaisuri Ngabetkasih (Ambetkasih) dan madu-madunya dari keraton Galuh menuju keraton Pakuan karena dia menjadi raja di sana.
Naskah Kidoeng Soenda “meunang njalin tina basa Kawi” (hasil terjemahan dari bahasa Kawi) tahun 1878. Mungkin naskah ini yang dimaksud terjemahan Tubagus Djajadilaga seperti dicatat Salmun (1958). Kidung Sunda (Kawi) aslinya ditulis oleh orang Bali yang menyaksikan atau mendengar peristiwa di Bubat, Majapahit, tahun 1357. Pada zaman ini ibukota Sunda berada di Kawali. Karena belum mendapatkan copynya, maka selain Kidoeng Soenda Tubagus Djajadilaga, sebagai bahan perbandingan dipakai naskah lain yang berisi sama, yaitu naskah Gaguritan Sundayang ditraskripsi dari aksara Bali oleh I Wayan Sutedja, berasal dari babon milik Ida Bagus Kade, biasa dibaca dan dinyanyikan di Geria Pasekan, Tabanan, Bali. Selain itu, dalam tulisan ini disertakan juga nama-nama instrumen dari Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (Kidung Sunda cersi C) asli berbahasa Kawi yang telah diterjemahkan C.C. Berg (Kunst, 1968).
Tulisan ini tidak atau belum melihat terhadap gejala seni pertunjukan Sunda menurut berita lisan kesenian pantun (yang dianggap merupakan kesenian Sunda yang sangat kuna keberadaannya, minimal sejak zaman kerajaan Pajajaran abad ke-16), dikarenakan kesenian tersebut dituturkan secara lisan oleh senimannya pada setiap zaman yang berbeda, sehingga besar sekali kemungkinan adanya korup dan penambahan kata, kalimat, isi, dan data, akibat pengetahuan dan situasi zaman yang mempengaruhi seniman penuturnya. Demikian pula dengan kesenian-kesenian lain yang sekarang masih hidup dan telah lama keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Sunda, baik yang masih berfungsi dalam konteks aslinya maupun telah bergeser, misalnya angklung, tarawangsa, calung, ronggeng (gunung), degung, goong gede, goong renteng, dan sebagainya. Seni pertunjukan tersebut menyimpan berbagai data mengenai berbagai pandangan hidup dan kehidupan manusia Sunda dari berbagai zaman, yang sangat penting untuk dilakukan pada kajian selanjutnya. Untuk memakai seni pertunjukan yang masih hidup seperti itu sebagai artefak hidup sumber data seni pertunjukan masa lampau, diperlukan suatu kritik dari bererapa sudut pandang.
A. Carita Parahiyangan
Naskah ini berasal dari abad ke-16, ditemukan di Galuh (kabupaten Ciamis sekarang). Naskah ini memberitakan adanya kegiatan musik (karawitan) dan tari seperti dapat diperhatikan kutipan dari bagian VI berikut ini:
Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa parungon, tatabeuhan di Galuh. Pulang ka Galuh teter nu ngigel.
Sadatang ka buruan ageung, tjarek Rahijangtang Mandiminjak: “Sang apatih, na saha eta?”
“Bedjana nu ngigel di buruan ageung”
(Mendengar [terdengar] tabuh-tabuhan bergemuruh memekakkan telinga, tabuh-tabuhan di Galuh. Pergi ke Galuh [di sana] banyak yang menari.
Setibanya di buruan ageung, Rahijangtang Mandiminjak berkata: “Sang apatih, siapakah mereka?”
“Katanya orang-orang yang menari di buruan ageung”).
(Atja, 1968:18 & 44).
Kutipan ini merupakan rangkaian dari suatu cerita ketika seorang perempuan, bernama Pwah Rababu, berkunjung ke ibukota Galuh. Di buruan ageung (halaman besar; alun-alun) terdapat suatu keramaian dengan adanya tabuh-tabuhan, serta di sana banyak orang menari. Putra mahkota Galuh, bernama Rahijangtang Mandiminyak, kemudian menuju buruan ageung. Sesampainya di sana dia tertarik dan merasa sangat cinta (katjida bogohna) kepada Pwah Rababu (yang sedang menari). Mandiminyak kemudian menyuruh ke patih supaya membawa Pwah Rababu ke kadaton (keraton). Di kadaton, Mandiminyak berhubungan badan dengan Pwah Rababu. Sekembalinya ke Galunggung (tempat tinggalnya), Pwah Rababu mengandung, dan kemudian melahirkan anak hasil hubungannya dengan Mandiminyak tersebut. Anak itu kemudian dibawa ke hadapan bapaknya di Galuh, dan diberi nama Sang Sena. Pwah Rababu, seorang putri kerajaan Kendan, sebenarnya adalah isteri Batara Dangiang Guru Sempakwaja, resiguru di Galunggung. Sempakwaja adalah kakak Resiguru Wanayasa dan Rahiangtang Mandiminyak. Ketiganya merupakan anak Resiguru Wretikandayun, raja Galuh pertama (670—702) yang semasa dengan kerajaan Sunda (penerus Tarumanagara, yang melemah sejak Galuh melepaskan diri tahun 670). Dengan demikian Pwah Rababu adalah adik ipar Mandiminyak sendiri. Inilah peristiwa yang di kemudian hari menjadikan Galuh tempat perang saudara akibat sengketa antara cucu-cucu Resiguru Wretikandayun. Sebagai putra mahkota Galuh, Mandiminyak kemudian kawin dengan Dewi Parwati, putri Kartikeyasinga, raja Kalingga, dengan permaisuri Ratu Sima (yang kemudian meneruskannya sebagai raja). Perkawinan Mandiminyak dengan Dewi Parwati melahirkan putri bernama Sanaha. Putri inilah—yang dalam kajian sejarawan Jawa Barat—kemudian kawin dengan Sang Sena, anak Mandiminyak dengan Pwah Rababu. Suatu perkawinan manu (dengan belahan sendiri). Hal ini terjadi karena situasi politik yang saling berkaitan waktu itu. Sena-Sanaha mempunyai anak bernama Rahiyang Sanjaya. Sanjaya di kemudian hari menuntut balas akibat Sena disingkirkan dari kekuasaan raja Galuh oleh Purbasora anak Sempakwaja. Salah satunya dia mendapat lawan tangguh Sang Pandawa dari Kuningan. Nama Sang Pandawa beberapa kali disebut dalam Carita Parahyangan berkaitan dengan keinginan Sanjaya dalam menundukkan daerah-daerah di Galuh. Namun meskipun Sanjaya dapat mengalahkan berbagai daerah, Sang Pandawa tidak sanggup dikalahkannya, dia dikejar-kejar sampai sungai Kuningan (digerekan, teka loh Kuningan). Nama “Sang Pandawa” mengingatkan pada nama keluarga Pandawa dalam cerita wayang. Digunakannya keluarga tokoh wayang ini menunjukkan ketangguhan ilmunya seperti tangguhnya para Pandawa melawan Kurawa dalam cerita pewayangan. Setelah beberapa tahun perang di Galuh, Sanjaya menjadi raja di Kalingga di Bumi Mataram meneruskan orang tuanya. Galuh diperintah anaknya, Tamperan Barmawijaya.
Carita Parahiyangan tidak memberikan keterangan bagaimana jenis dan bentuk tabuhan meriah, serta tarian yang dibawakan Pwah Rababu beserta orang-orang lain di buruan ageung tersebut. Akan tetapi dari berita ini didapatkan suatu pengertian, bahwa pada masa kerajaan Galuh suatu jenis kesenian yang di dalamnya melibatkan tatabeuhan (tabuh-tabuhan; karawitan) dan igel(tarian) telah ada dan dipertunjukan di ibukota kerajaan (bekas ibukota kerajaan Galuh kini masih dikeramatkan, yaitu yang sekarang disebut Karangkamulyan di Ciamis). Selain itu, seorang ksatria Kuningan memakai nama dari istilah keluarga pewayangan, Pandawa.
Pada bagian XVI disebut nama keraton Pajajaran yang diambil dari nama tokoh dan negara dalam pewayangan. Perhatikan kutipan berikut ini:
Sang Susuktunggal injana nu njieun(n)a pala(ng)ka Sriman Sriwatjana Sri Baduga Maharadjadiradja, ratu hadji di Pakwan Padjadjaran. Nu mikadatwan Sri-bima-untarayana-madura-suradipati, injana pakwan Sanghja(ng) Sri Ratudewata.
(Atja, 1970:29)
(Sang Susuktunggal, dialah yang membuat kursi tahta [palangka] Sriman Sriwacana [yang dipakai] Sri Baduga Maharajadiraja, raja Pakwan Pajajaran. Yang bertahta di keraton [bernama] Sri-Bima-[P]unta-[Na]rayana-Madura-Suradipati, yaitu keraton Pakwan [yang juga dinamakan] Sanghja[ng] Sri Ratudewata).
Nama keraton Pajajaran di kota Pakuan mengandung tiga nama tokoh dalam cerita wayang, yaitu “Bima”, “(P)unta”, dan “(Na)rayana”, serta satu nama keraton atau kerajaan “Madura” (atau Mandura). Nama-nama tersebut merupakan tokoh wayang dari kelompok Pandawa (Bima atau Werkudara, dan Punta atau Puntadewa atau Darmakusuma) dan kelompok Madura (Narayana atau Arayana atau Kresna). Di balik nama Madura tentu terdapat nama kakak Narayana, yaitu Aladara (Baladewa), yang kemudian menggantikan ayahnya, Prabu Basudewa, menjadi raja Madura. Dari masing-masing kerajaan terdapat tokoh sakti dan teguh pendirian, yaitu Bima dari Amarta, dan Baladewa dari Madura. Selain itu dari Amarta terdapat tokoh Punta yang penyabar, dan dari Madura ada Narayana yang cerdas. Penyebutan kelompok Pandawa dari Amarta dan kelompok Madura bagi nama keraton Pajajaran ini sepertinya mengandung maksud dan makna tertentu. Bagi Pajajaran, kedua negara dan tokoh-tokoh ini mungkin merupakan tipe ideal pemerintahan yang adil dan bijaksana, serta Pajajaran pun diharapkan bisa mengikuti teladan kedua negara pewayangan tersebut. Sedangkan nama “Suradipati” menunjukkan nama keraton selanjutnya. Nama awal “sura” bagi nama keraton di Sunda sepertinya merupakan nama yang mempunyai nilai tertentu. Ketika kerajaan Sunda beribukota di Kawali keratonnya bernama Kadatwan Surawisesa seperti tercantum dalam prasasti Kawali I (abad ke-15). Bangunan keraton kelima di Pakuan bernama Suradipati. Setelah masa Islam, keturunan-keturunan Pajajaran tetap menggunakan kata “sura” untuk keratonnya. Nama keraton di Banten bernama Keraton Surasowan, dan nama keraton Pangeran Jayakarta di Kalapa bernama Keraton Surakerta atau Surakarta. Nama panjang keraton di Pakuan diduga merupakan nama lima buah keraton (bangunan) utama (Bima, Punta, Narayana, Madura, Suradipati).
B. Sewaka Darma
Naskah atau kropak ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Seperti keterangan penulis naskahnya sendiri, naskah ini ditulis oleh Buyut Ni Dawit di Kuta Wawatan, seorang wanita yang pernah bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang. Di manakah letak pertapaan dan gunung tempat pertapaan ini, para sejarawan belum memastikan tempatnya. Mungkin gunung ini adalah Gunung Kumbang (1218 dpl) di Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) yang sejak dulu sampai sekarang dianggap mempunyai nilai spiritual tertentu bagi masyarakatnya, di mana penduduk di sekitarnya sampai saat ini merupakan masyarakat Sunda, dan dalam beberapa aspek kehidupannya masih cukup memegang teguh tradisi leluhurnya. Beberapa naskah kuna dari tempat bernama Gunung Sagara (800 dpl)—yang letaknya di lereng selatan Gunung Kumbang)—diambil oleh Rd. Aria Tjandranegara, Bupati Brebes (1880—1885) pada 14 November 1882, kemudian diserahkan ke K.F. Holle untuk diteliti, yang kabarnya kemudian disimpan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Meskipun penduduk kampungnya telah tidak ada setelah peristiwa pengambilan naskah oleh bupati tersebut, tempat Gunung Sagara sampai saat ini masih ada dan dikeramatkan. Kuta Wawatan, menurut para sejarawan terletak di Priangan sebelah timur, karena penulis naskah Sewaka Darma menyebutkan nama Kendan, Medang, dan Menir yang masing-masing merupakan tempat kediaman Resi Guru Manikmaya, Kandiawan, dan Wretikandayun di daerah Priangan timur.
Isi naskah Sewaka Darma secara umum berbicara mengenai ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib. Menurut Danasasmita, dkk. naskah ini merupakan salah satu bukti tentang berkembangnya aliran Tantrayana di kawasan Jawa Barat pada masa silam. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Buda Mahayana. Berdasarkan isinya, usia naskah jauh lebih tua dari tipe hurufnya yang berasal dari abad ke-18 Masehi. Karena ajaran yang tersurat di dalamnya mengenai kelepasan jiwa (moksa) dengan gaya penuh kesungguhan, sulitlah diterima bila hal itu dikerjakan dalam suasana abad ke-18, bahkan abad ke-17 sekalipun. Pekerjaan itu hanya mungkin dilakukan pada saat agama Islam belum merupakan anutan umum di kawasan Jawa Barat. Sehingga diduga naskah ini merupakan salinan dari naskah yang lebih tua. Mungkin sekali naskah aslinya disusun paling tidak dalam abad ke-15 Masehi ketika anasir Hindu dalam kehidupan religi masyarakat Jawa Barat belum merosot terlalu jauh (Danasasmita, dkk., 1987:1—3).
Sewaka Darma dibuka dengan kalimat:
Ini kawih panyaraman, pikawi[h]eun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, [h]awa[k[aneun sang sisya, nu huning sewaka darma.
(Inilah kawih [kidung] nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, [untuk] membangun rasa pribadi, [untuk], diamalkan para siswa, yang paham sewaka darma).
(Danasasmita, dkk., 1987:10 & 41)
Istilah “kawih” sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat Sunda dalam pengertian lagu atau nyanyian vokal. “Panyaraman” masih mempunyai kesamaan dengan bahasa Sunda sekarang, berasal dari kata “caram” (di Priangan barat umumnya menggunakan kata “carek” yang searti dengan kata ini), artinya “larang” atau “peringatan”. “Kawih panyaraman” berarti “nyanyian (tentang) larangan” atau “nyanyian (tentang) peringatan”, yang bisa juga berarti “nyanyian (suatu) nasihat”.
Berdasarkan teks tersebut naskah ini ternyata bernama Kawih Panyaraman, dan merupakan teks yang cukup panjang, yaitu 37 lembar dengan tulisan sebanyak 67 halaman. Apakah teks Kawih Panyaraman ini bisa dan biasa dinyanyikan (dikawihkeun), hal ini tidak dapat dipastikan. Akan tetapi bila dipegang asumsi bahwa istilah “kawih” dalam naskah ini masih searti dengan istilah “kawih” zaman sekarang, maka ada kemungkinan bahwa teks ini bisa dan biasa dinyanyikan pada zamannya. Sampai abad ke-19, bahkan pertengahan abad ke-20, untuk membaca suatu teks yang panjang, orang Sunda biasanya akan membacanya sambil dinyanyikan. Tujuannya, seperti dikemukakan Moriyama (2005:66), bagi orang Sunda, mendaraskan dangding (ditembangkeun) adalah hiburan sekaligus pendidikan. Bisa dibandingkan pula dengan artefak hidup seni pertunjukan buhun yang masih hidup sekarang dan menonjolkan sisi isi teks lagu, yaitu pantun. Pantun yang teksnya sangat panjang disajikan dengan cara dikawihkeun (dinyanyikan) pula. Teks Kawih Panyaraman sangat “hidup” karena memberikan pesan isi, namun sebaliknya secara karawitan—bila teks ini pada zamannya bisa dan biasa dinyanyikan—maka naskah ini merupakan teks mati karena tidak bisa memberikan gambaran bagaimana teks ini seharusnya dinyanyikan seperti pada zamannya.
Pada akhir halaman ke-8 terdapat kalimat:
Lamun beuteung nu ngu[n]dang, lamun hanteu nu nyarita, panggung lagi data(ng) mene(ng), kari raga tanpa mudela, leuwih tan kautamaan, lamun a(ng)geus diti(ng)galkeun, ku na bayu sabda hedap.
(Kalau kosong yang mengundang/memanggil [tontonan], kalau tak ada orang berkisah [bermain sandiwara], panggung lagi musim sepi, tinggallah raga tanpa gairah, yang lebih tak berarti lagi, bila sudah ditinggalkan, oleh daya hidup ucap dan tekad, aku [ditinggalkan] Sanghyang Hidup).
(Danasasmita, dkk. 1987:14 & 44)
Teks tersebut merupakan illustrasi simbolis yang mempunyai kaitan dengan isi teks keseluruhan tentang kehidupan manusia sebagai mahluk yang diciptakan Tuhan dengan segala perbuatannya, dan adanya batas kehidupan dan kematian yang selalu akan menimpa manusia. Ada tiga kalimat yang menarik dari teks ini, yaitu tiga kalimat pertama. Kalimat pertama (lamun beuteung nu ngu[n]dang; kalau kosong/tidak ada yang mengundang) mengingatkan bahwa suatu kesenian pada zaman lampau telah biasa ditampilkan dengan cara diundang oleh orang lain. Kalimat kedua (lamun hanteu nu nyarita; kalau tak ada orang berkisah) mengingatkan adanya suatu kesenian yang disajikan dengan cara berkisah atau bercerita, yang oleh Danasasmita, dkk. diberi pengertian bahwa yang dimaksud adalah kesenian (sejenis) sandiwara. Kalimat ketiga (panggung lagi data[ng] mene[ng]; panggung lagi musim sepi) mengingatkan bahwa kesenian pada zaman itu telah biasa ditampilkan dengan cara diundang (panggung; manggung; mempertunjukkan), dan ada waktunya kesenian tersebut tidak ada yang mengundang, mungkin karena berkaitan dengan waktu-waktu tabu bagi adanya suatu hiburan, seperti halnya pada masa sekarang di tempat-tempat tertentu yang masih menjalankan tradisi lama. Dengan demikian, tradisi mengundang kesenian untuk suatu keperluan dan adanya waktu-waktu tertentu untuk menampilkan kesenian, sudah merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Pada halaman ke-37 terdapat kalimat “centam kadi wayang-wayangan”, yang artinya cemerlang seperti wayang-wayangan. Kalimat ini berkaitan dengan penggambaran suatu tempat di surga yang sangat indah. Penulisnya, membuat hiperbola keindahan “wayang-wayangan”. “Wayang-wayangan” di sini mengarah pada nama suatu benda atau peristiwa pertunjukan, meskipun mungkin bisa berarti “bayang-bayang”. Sangat terbuka kemungkinan bahwa kata ini diambil dari kosa kata seni pertunjukan wayang yang ada pada zaman itu.
Selanjutnya pada akhir halaman ke-44 (sebagai baris pertama kalimat) dan halaman ke-45 (mulai baris kedua) terdapat kalimat sebagai berikut:
Nu na[ng]gapan, sada canang, sada gangsa tumpang kembang, sada kumbang tarawangsa ngeui[k], sada titila[r]ri[ng] bumi, sada tatabeuhan jawa, sada gobeng direka cali[n]tuh di a[n]jung, sada handaru kacapi la[ng]nga, sada keruk sagung.
(Terdengar bunyi-bunyian, suara canang, suara gamelan tumpang kembang, suara kumbang dan tarawangsa menyayat, suara peninggalan bumi, suara gamelan Jawa, suara baling-baling ditingkah calintuh di dangau, suara deru kacapi penuh khawatir, suara sedih semua).
(Danasasmita, dkk., 1987:30 & 60)
Di surga dia mendengar berbagai bunyi-bunyian (musik). Sebagai informasi kesenian, kalimat tersebut sangat menarik karena menyebutkan beberapa nama instrumen musik (instrumen musik) yang hampir semuanya masih bisa dikenali pada masa sekarang. Nama bunyi-bunyian yang dicatatnya, meskipun diceritakan didengar di surga, tentu sebenarnya adalah nama alat musik yang diketahui oleh penulis di lingkungannya pada zaman itu. Kemudian, sekali lagi seperti pada halaman ke-8, pada halaman ke-44 ini tertulis sebuah kata yang menunjukkan bahwa kesenian telah biasa diundang untuk dipertunjukkan (na[ng]gapan). Kata (na[ng]gapan) mengandung pengertian bahwa yang dipertunjukkan tersebut adalah suatu kesenian bunyi-bunyian (musik; karawitan) seperti terlihat dari kalimat-kalimat selanjutnya yang menyebutkan beberapa nama instrumen musik. Sebelumnya terdapat kata “nu” yang dalam bahasa Sunda berarti ada sesuatu yang memintanya untuk mempertunjukan suatu kesenian. Dalam hal ini pasti yang dimaksud adalah orang atau orang-orang (pengundang).
Ada delapan nama instrumen musik yang disebutkan di sana, yaitu: canang, gangsa, kumbang, tarawangsa, tatabeuhan jawa, gobeng, cali[n]tuh, dan kacapi. Karena di depan nama-nama instrumen musik tersebut terdapat kata “sada” maka kami sendiri tidak mengartikan kata itu sebagai “suara”, tetapi “seperti bunyi”, sesuai dengan arti sebenarnya dalam bahasa Sunda. Di sini digunakan kata “bunyi”. Dalam karawitan biasanya untuk bunyi yang keluar dari suatu alat musik digunakan kata “bunyi”, sedangkan bunyi yang keluar dari vokal manusia digunakan kata “suara”.
Menarik sekali bahwa di sini disebutkan nama instrumen musik canang. Dalam kosa kata karawitan Sunda sekarang tidak ada istilah ini. Akan tetapi bila mengingat bahwa dalam kosa kata Sunda di daerah tertentu pada masyarakat Sunda sebelah barat, sering dijumpai istilah yang terasa berbau bahasa Melayu (misalnya “ayah” untuk bapak, “barat” untuk barat dekat, “timur” untuk timur dekat), maka “canang” juga bisa diduga merupakan kosa kata Sunda dari masa lampau akibat persentuhan masyarakat Sunda dengan Lampung, Melayu, atau Palembang, yang pada masa kerajaan Sunda dahulu sering mempunyai hubungan antarkerajaan dan kemasyarakatan. Kata canang dalam kelompok Melayu biasanya ditujukan terhadap instrumen musik berpencon sejenisbonang dalam gamelan Sunda atau Jawa sekarang. Kata bonang sendiri dalam kosa kata karawitan Sunda sekarang diduga baru dikenal bersamaan dengan masuknya gamelan ageng Jawa salendro-pelog sebagai salah satu benda regalia para bupati di tanah Sunda pada zaman Pasundan Eksiganda (zaman ketika sebagian tanah Sunda ada di bawah Wong Agung Ngeksiganda [Sultan Agung Hanyakrakusuma; orang agung dari Mataram] abad ke-17).
Selanjutnya tercatat nama instrumen musik gangsa. Istilah inipun tidak ada dalam kosa kata karawitan Sunda sekarang, tetapi kata ini terdapat dalam kosa kata karawitan Jawa. Istilah gangsadalam kosa kata karawitan Jawa sekarang merupakan kata halus dari gamelan. Mungkin sebenarnya kata ini merupakan kata umum pada masa dahulu, selain dikenal istilah gamelan, baik di Sunda maupun di Jawa. Kata gangsa telah muncul tahun 862 seperti tercatat dalam Oud-Java Oorkonden VII (1913), sedangkan kata gamelan muncul dalam Bagus Turunan (Kunst, 1968).
Instrumen musik kumbang sekarang di antaranya dapat dikenali dalam instrumen musik bernama sama di daerah Banten selatan, merupakan alat tiup dari tamiang (bambu kecil). Begitu pula dengan tarawangsa sekarang masih dikenal. Meskipun pada setiap masa seniman tarawangsa secara umum semakin berkurang, dan keseniannya semakin tidak dikenal di kalangan umum, tetapi instrumen musik ini sampai sekarang masih ada dan digunakan dalam konteks lama (upacara ritual) di daerah Rancakalong (Sumedang), Cibalong (Tasikmalaya), Lamajang (Bandung), dan Kanekes (Baduy). Di Rancakalong instrumen musik ini dinamakan ngekngek, merupakan onomatopi dari bunyi instrumen tarawangsa. Dalam kitab Kidung Adiparwa (dari zaman Dharmawangsa Teguh; Kadiri 991—1016), tarawangsa disebut dengan trewasa, dalam kitab Malat disebut trawasa, dan dalam Bagus Turunan disebut trawangsah (Kunst, 1968).
Kalimat “sada titila[r]ri[ng] bumi” mengandung pengertian bahwa bunyi-bunyi yang telah disebutkan sebelumnya (dan bunyi-bunyi lain yang tidak disebutkan dalam teks), kedengarannya seperti bunyi-bunyian (tabuh-tabuhan; kesenian) yang biasa ada di bumi (dunia). Ada juga yang terdengar seperti tatabeuhan jawa (tabuh-tabuhan orang Jawa). Mungkin yang dimaksud di sini adalah gamelan Jawa, meski dalam bentuk dan musikalitas yang berbeda dengan zaman sekarang.
Kemudian terdengar seperti gobeng yang ditingkahi instrumen musik cali[n]tuh di a[n]jung. Dari istilahnya, instrumen musik gobeng sulit dikenali apa maksudnya, tetapi jika dilihat dari nama instrumen musik berikutnya yang menyertai dan meningkahinya, yaitu cali[n]tuh, dapat diduga bahwa instrumen musik tersebut adalah kolecer atau baling-baling seperti diterjemahkan Danasasmita, dkk.Kolecer dan calintuh dalam kebudayaan di pedesaan Sunda seringkali dipasang di huma atau sawah dekat an[n]jung (saung ranggon dalam bahasa Sunda sekarang; dangau tinggi). Gobeng (kolecer) dan calintuh apabila tertiup angin terdengar berdengung dengan bermacam-macam jenis bunyinya.
Instrumen musik selanjutnya adalah kacapi. Instrumen musik ini sangat popular dalam karawitan Sunda sampai sekarang karena sangat praktis, secara musikal maupun secara ensemble.Kacapi telah dikenal dalam berbagai kebudayaan di Nusantara dengan beberapa variasi penyebutan dan bentuk instrumen musik, seperti kecapi (Melayu), kasapi (Dayak Ngaju), sampe (Dayak Kenyah),kucapi atau kulcapi (Batak-Karo), hasapi atau hapetan (Batak Toba) kudyapi (Tagalog Pilipina),kodyapi (Bisaya), kacaping (Makasar), dan sebagainya. Istilah kacapi telah muncul dalam kitab Arjuna Pralabda, Tantri, dan Kidung Harsawijaya (Kunst, 1968).
Terakhir, pada akhir halaman ke-61 terdapat kalimat:
Nu buni pangwereg darma
ngarana sa(ng)hyang watang wayang
(Yang tersembunyi [yaitu] penggerak darma
bernama sanghyang watang wayang)
(Danasasmita, dkk. 1987: 38 & 70)
Sanghyang Watang Wayang adalah nama tempat di Kahyangan dalam alam pikiran spiritual manusia Sunda, minimal pada masa naskah ini ditulis. Kata “sanghyang” menunjukkan bahwa tempat ini sangat sakral, suci, dan dihormati. Kata “wayang” merupakan nama suatu jenis cerita dan seni pertunjukan. Kata “watang” berarti batang atau tonggak, serta bisa bermakna batang melingkar (wengku) sebagai penguat suatu benda. Kesenian wayang merupakan salah satu jenis kesenian yang mempunyai nilai ritual dan isi yang sangat dalam. Nama Sanghyang Watang Wayang dengan demikian pasti mempunyai makna filosofi yang tinggi, suatu tempat sakral dan suci seperti sakral dan sucinya suatu cerita dan pertunjukan wayang bagi masyarakat yang memahami dan melaksanakan filosofi wayang. Selain itu, pada halaman ke-47 naskah ini memberitahukan tentang nama motif kain panjang (wanita) yang dinamakan giri(ng)si(ng) wayang. Semua istilah kesenian tersebut, meski digambarkan di alam Kahyangan, tetapi hal tersebut adalah pengetahuan penulisnya, sehingga nama-nama kesenian yang disebutkannya merupakan nama-nama kesenian pada zaman penulisnya hidup.
C. Bujangga Manik
Naskah yang aslinya disimpan di Perpustakaan Bodleian (Oxford, Inggris) sejak tahun 1627 atau 1629 ini merupakan catatan perjalanan penulisnya, Bujangga Manik (disebut pula Prebu Jaya Pakuan atau Rakean Ameng Layaran) mengunjungi tempat-tempat keagamaan di Pulau Jawa dan Bali. Perjalanan pertama berjalan kaki dari Pakuan sampai Pamalang (Pemalang, Jawa Tengah) dan perjalanan kedua pulang pergi dari Pakuan berjalan kaki (kecuali ketika menyeberangi pulau) sampai ke Pulau Bali.
Dalam perjalanan pertama, ketika telah sampai di Pamalang (Pemalang) Bujangga Manik berniat untuk pulang ke Pakuan, karena teringat ibunya yang telah lama ditinggal bepergian. Karena malas pulang melalui jalan darat yang telah dilaluinya, maka dia menumpang sebuah kapal Malaka yang berlabuh di pelabuhan Pamalang. Mengiringi keberangkatan kapal berbunyilah bedil tujuh kali, dan:
(H)ingna goong brangna gangsa, seah nu ge(n)dang sarunay, seok nu kawih tarahan, nu kawih a(m)bah-a(m)bahan, ‘Ba(n)tar kali buar pelang, surung-sarang suar gading, ma(n)yura ditedas u(n)cal.
(Unpad, t.th)
(Bergaungnya bunyi goong bergemanya bunyi gangsa, gemuruh bunyi gendang dan sarunay, ramai yang melantunkan ‘nyanyian ombak’, yang menyanyi terdengar bergema, [nyanyiannya sebagai berikut]: ‘Bantaran kali [sungai] hilanglah sudah, lantai mengkilap bersinar keemasan, burung merak diterjang rusa).
Bujangga Manik menyebutkan nama-nama instrumen atau kesenian goong, gangsa, gendang, sarunay, kawih, kawih tarahan, serta sebuah teks lagu ketika dia mulai berlayar. Dapat diperkirakan bahwa kesenian-kesenian ini merupakan kesenian alas (daerah) Jawa di Pamalang, karena daerah Sunda paling timur yang disebutnya sebagai tungtung Sunda waktu itu telah terlewati (batasnya sungai Cipamali) seperti disebutkan Bujangga Manik. Pada zaman Galuh batas ini lebih ke timur. Tanda-tanda hal ini masih bisa diketahui dengan terdapatnya berbagai nama tempat yang jelas bertoponimi Sunda, seperti sebuah kecamatan di Comal bernama Cikadu, Paninggaran di Pekalongan, dan berbagai nama di daerah Banyumas sampai di Purbalingga. Nama-nama kesenian yang disebut Bujangga Manik mungkin pula adalah nama kesenian yang diketahuinya di daerah Sunda. Dari berita Bujangga Manik ini perlu diperhatikan, bahwa pada zaman itu untuk keberangkatan suatu kapal besar (seperti perahu Malaka itu) biasa disertai dengan seremonial yang disertai keramaian musik. Bujangga Manik menyebutnya dengan kawih tarahan, yaitu nyanyian (dan musik) penguasa pelabuhan.
Setelah berlayar selama setengah bulan, Bujangga Manik mendarat di pelabuhan Kalapa dan dengan berjalan kaki menuju ibukota Pakuan. Seorang putri Pakuan yang sangat cantik penghuni keraton Anjung Larang, bernama Sakean Kilat Bancana, sangat tertarik dengan ketampanan dan kecakapan pengetahuan Bujangga Manik. Melalui seorang wanita bernama Jompong Larang, dia kemudian melamarnya. Sebagai tanda melamar terdapat benda-benda yang diberikan, di antaranya sirih pinang lengkap, bedak, minyak cendana, minyak kasturi, minyak biji-bijian, bunga, kain, sabuk wayang, keris, dan lain-lain. Di antara barang-barang tersebut terdapat sabuk wayang (Unpad, t.th: baris ke-393 dan 514). Ini menunjukkan bahwa sabuk (ikat pinggang) tersebut bermotifkan gambar wayang, atau bisa juga berarti sabuk yang meniru model sabuk wayang. Tentu wayang di sini menunjukkan benda. Artinya wayang pada masa ini tidak hanya berbentuk cerita, tetapi berujud, baik berupa relief atau motif (seperti dalam sabuk wayang) maupun (kemungkinan) bentuk patung (boneka) dua dimensi atau tiga dimensi yang digunakan untuk suatu pertunjukan wayang.
D. Sanghyang Siksakandang Karesian
Naskah yang tidak diketahui penulisnya ini, tetapi menyebutkan angka tahun 1518 M sebagai selesainya penulisan, membicarakan kesejahteraan hidup manusia di dunia dengan memahami darmanya masing-masing, sehingga kalau tuntutan darma ini terpenuhi maka akan tercapai suatu kesejahteraan. Naskah ini banyak menceritakan berbagai panorama budaya zaman penulisnya, berbagai keahlian beserta hasil kreasi para ahlinya (Danasasmita, dkk. 1987:6).
Pada bagian X naskah ini menyebutkan istilah medu wayang, kumbang gending, tapukan,dan banyolan, sebagai nama-nama keahlian di antara keahlian lainnya di mana para ahli tersebut merupakan orang yang setia kepada raja, dan oleh karena itu harus diperhatikan dan dapat ditiru oleh orang lain. Kesetiaan pada raja merupakan perilaku bertapa di negara (kota). Medu wayang diartikan sebagai dalang wayang. Kumbang gending merupakan pembuat gamelan, tapukan merupakan pemain sandiwara, dan banyolan adalah pelawak.
Selanjutnya dalam bagian XI terdapat kalimat:
Aya ta deui. Lamun urang nyeueung nu ngawayang, ngadengekeun nu ma(n)tun, nemu siksaan tina carita, ya kangken guru panggung ngara(n)na.
(Ada lagi. Kalau kita menonton wayang, mendengarkan juru pantun, lalu menemukan pelajaran dari kisahnya, itu disebut guru panggung).
(Danasasmita, dkk. 1987:80 & 103)
Perhatikan pula pada bagian XVI yang memberitakan berbagai cerita wayang:
Hayang nyaho di sakweh ning carita ma: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; sing sawatek carita ma memen tanya.
(Bila ingin tahu semua cerita seperti: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Ranggalawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; yang segala macam ceritera tanyalah dalang).
(Danasasmita, dkk. 1987:83 & 107)
Dari ketiga berita yang berkaitan dengan wayang tersebut, meskipun tidak tergambarkan bagaimanakah pertunjukannya dan apakah memakai (sejenis) boneka wayang atau tidak pada zaman ini, tetapi dengan adanya dalang wayang (medu wayang, memen) serta adanya contoh-contoh cerita, tentu pertunjukan itu ada, serta sangat mungkin bila menggunakan suatu musik (tabuh-tabuhan) tertentu. Dalam kutipan kedua (bagian XI) dengan jelas penulisnya membedakan cara ‘mengapresiasi’ pertunjukan wayang (ngawayang) dan pertunjukan pantun (mantun). Pertunjukan wayang diapresiasi dengan cara melihat (nyeueung), sedangkan pertunjukan pantun diapresiasi dengan cara mendengarkan (ngadengekeun). Dengan demikian bagaimanapun wayang kala itu merupakan bentuk seni pertunjukan yang bersifat audio visual, meskipun bentuk pertunjukannya sendiri tidak dapat diduga secara pasti. Kemudian di sana terdapat istilah guru panggung. Ini merupakan istilah yang mengandung pengertian jika seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan dari hasil menonton atau mendengarkan suatu pertunjukan panggung atau arena, yaitu mendapatkan pelajaran dari cerita (nemu siksaan tina carita).
Bila melihat nama-namanya, dari keempat belas cerita yang disebutkannya, lima cerita di antaranya merupakan cerita wayang, yaitu Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, danSumana. Cerita Ramayana menceritakan kisah Prabu Rama di Ayodyapala yang bertempur melawan keangkaramurkaan Prabu Rahwana di Alengkadirja. Dalam kitab Mahabarata, Adiparwa menceritakan para leluhur Pandawa dan Kurawa. Korawasarma menceritakan dihidupkannya kembali para Korawa setelah mati, untuk membalas dendam kepada Pandawa. Sumana menceritakan kelahiran Dasarata raja Ayodya. Cerita-cerita lainnya, mungkin saja pada zaman dahulu sering dipertunjukan juga dalam pertunjukan wayang, termasuk kisah binatang, Tantri. Untuk cerita Kala Purbaka belum diketahui maksudnya. Sedangkan Ranggalawe, meskipun selama ini nama ini lebih dikenal sebagai nama salah satu adipati dari Tuban pada masa Majapahit, tetapi nama ini mungkin merupakan nama (tokoh atau cerita) lain lagi yang ada di Sunda kala itu, yang berbeda dan tidak dimaksudkan dengan nama Adipati Tuban. Membahas cerita-cerita tersebut diperlukan suatu penyelusuran tersendiri.
Informasi mengenai awal keberadaan seni pertunjukan wayang di Sunda sampai sekarang masih bersandar pada hipotesa Salmun (1949/1961) yang menyebutkan bahwa wayang di Sunda baru dimulai pada permulaan abad ke-19 ketika zaman pembukaan jalan raya pos Daendels (1808—1811). Salmun mengatakan:
Sanggeus aya jalan pos (1808—1811) patalimarga teh babari. Wayang golek ti Cirebon oge beuki jauh asup ka Priangan. Nu barisa ngadalang beuki rea, lantaran rea anu kajurung ku resep. Ti harita wayang golek mimiti punjul dipikaresep ku urang Sunda.
(Setelah ada jalan pos [1808—1811] lalu-lintas menjadi mudah. Wayang golek dari Cirebon semakin jauh memasuki daerah Priangan. Orang yang jadi dalang semakin banyak, sebab banyak yang terdorong oleh rasa sukanya. Semenjak itulah wayang golek mulai lebih banyak digemari oleh orang Sunda).
(Salmun, 1960)
Dengan dibukanya jalan pos Daendels maka lalu-lintas antarkota atau daerah menjadi lancar, dan kesenian wayang ini pun datang ke wilayah Sunda dibawa oleh para seniman dari Cirebon dan Tegal—Brebes akibat lancarnya sarana transportasi. Dalang pertama yang masih diingat orang dikenal dengan nama Darman dari Tegal, yang diundang oleh Dalem Karanganyar, bupati Bandung (1829—1846). Di Bandung dalang Darman membuat wayang dari kayu dengan raut muka pipih mencontoh wayang kulit purwa, tetapi kemudian dibuat tiga dimensi. Dalem Bintang (1846—1874), penggantinya, juga memperhatikan pengembangan wayang ini, dan atas perintahnya pula narasi dalang menggunakan bahasa Sunda menggantikan bahasa Jawa, supaya dapat dimengerti oleh penonton Sunda yang kebanyakan tidak mengerti bahasa Jawa tersebut.
Jika melihat informasi naskah kuna berkenaan dengan wayang Sunda, hipotesa Salmun sepertinya sudah selayaknya untuk dikritisi kembali. Hipotesa Salmun tampaknya bersandar pada data ingatan para pewaris wayang golek Sunda tipe masa kini, yang terbatas hanya sampai pada beberapa generasi di atasnya. Keterputusan atau tidak adanya informasi mengenai tradisi dan pertunjukan wayang masa Pajajaran dimungkinkan akibat situasi kemasyarakatan dan politik yang terjadi, sehingga mempengaruhi kehidupan seni pertunjukan zaman Pajajaran. Mengenai hal ini penyebab-penyebabnya harus diteliti secara saksama.
Setelah membicarakan keahlian memen, penulis naskah ini memberitahukan beberapa nama kawih (nyanyian) seperti dapat diperhatikan dalam kutipan berikut:
Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi[n]diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, parerane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba[ng]barongan, kawih tangtung, kawih sasa[m]batan, kawih igel-igelan; sing sawatek kawih ma, paraguna tanya.
(Bila ingin tahu segala macam lagu, seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan, kawih panyaraman, kawih sisi[n]diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, parerane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba[ng]barongan, kawih tangtung, kawih sasa[m]batan, kawih igel-igelan; tanyalah paraguna (ahli karawitan).
(Danasasmita, 1987:83 & 107)
Semua nama kawih yang disebutkannya sekarang sudah tidak dapat dikenali bagaimanakah bentuk dan nyanyiannya. Apakah kawih panyaraman ini maksudnya sama dengan kawih panyaramanseperti naskah panjang Sewaka Darma, tidak dapat dipastikan, tetapi kemungkinan ini sangat terbuka. Bila ditelusuri artinya secara perkata pun hanya beberapa kata saja yang kemungkinan masih bisa dikenali (dalam konteks bahasa Sunda sekarang, yang mungkin bisa sama atau berbeda dengan arti pada masa dahulu), yaitu kawih panjang, kawih sisi[n]diran, bongbongkaso, parerane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba[ng]barongan, kawih tangtung, kawih sasa[m]batan, kawih igel-igelan.
Kawih panjang berarti nyanyian panjang. Mungkin dalam arti teksnya yang sangat panjang.Kawih sisi[n]diran berarti nyanyian dengan teks berbentuk sisindiran (setara dengan sajak pantun dalam sastra Melayu di mana terdapat bagian sampiran dan isi). Arti “bongbong” dalambongbongkaso kurang begitu dikenali, tetapi kata “kaso” masih bisa dikenali sebagai nama sejenis tumbuhan dengan bentuk pohon seperti tebu kecil, biasanya tumbuh di pinggir sungai. Parerane juga sulit dikenali. Akan tetapi apabila kata ini boleh dipecah menjadi “pare” dan “rane”, “pare” artinya padi, dan “rane” dapat menunjukkan nama salah satu jenis padi (pare), mungkin jenis padi huma, karena masyarakat Sunda pada masa itu mayoritas menanam padi di ladang. Padi huma mempunyai jenis lebih banyak daripada padi sawah. “Eurih” dalam porod eurih artinya ilalang, tetapi arti kata “porod” belum diketahui. Babahanan berarti memberikan bekal. Bekal apakah yang dimaksud di sini, berupa benda, makanan, atau suatu bekal nasihat, tidak bisa dipastikan. Akan tetapi kawih babahanan ini lebih cenderung dirartikan sebagai nyanyian nasihat. Ba[ng]barongan sampai sekarang masih dikenali sebagai nama sejenis badawang (topeng monster). Kawih bangbarongan dengan demikian bisa mengandung pengertian nyanyian yang biasa dipakai dalam pertunjukan bangbarongan, tetapi juga bisa berarti nama kawih itu sendiri yang tidak mempunyai keterkaitan dengan jenis badawang (bangbarongan). Salah satu jenis pertunjukan yang di dalamnya terdapat bangbarongan yang sekarang masih hidup adalah kesenian reak di Sumedang dan Bandung. Tangtung berarti berdiri, tetapi maksudnya belum diketahui jika diterjemahkan harfiah sebagai suatu nyanyian berdiri. Mungkin juga “tangtung” di sini berarti adeg-adeg (saka guru; tiang yang kuat), sehingga bermakna suatu nyanyian bagi pegangan hidup. Kawih sasa[m]batan bisa diartikan nyanyian ratapan (sambat; nyambat). Kawih sasa(m)batan bisa juga berarti jenis nyanyian yang teksnya seringkali memanggil seseorang atau sesuatu (sambat; nyambat) dikarenakan faktor tertentu. Panggilan ini mungkin saja dikarenakan rasa rindu, merayu, sedih, atau harapan. Endang Tjaturwati dalam suatu seminar di STSI Bandung (2005) mengartikan kawih sasa(m)batan sebagai nyanyian yang dilakukan sinden dengan cara menyebut-nyebut nama orang, dan bertujuan orang tersebut memberikan—di antaranya—uang, yang sampai sekarang masih dilakukan oleh sinden-sinden jaipongan-bajidoran di daerah Pakaleran. Kawih igel-igelan, kata ini mempunyai arti nyanyian (yang digunakan dalam) tari-tarian. Sedangkan untuk kawih bwatuha, kawih lalanguan, dan kawih pengpeledan, sulit untuk dikenali artinya. Akan tetapi bwatuha mungkin merupakan penulisan dan pengucapan lain dari patuha ataupateuha. Huruf “b” dan “p” biasanya mengalami kemiripan pengucapan dan pertukaran penulisan huruf, tetapi maksudnya tetap sama. Patuha atau pateuha artinya disuruh menurut (patuh). Patuhaatau pateuha pada masa Pajajaran menurut cerita pantun Bogor adalah tempat pemukiman dukun-dukun sakti: yang bisa menyuruh sungai Ciliwung banjir, Ciliwung kering, Cipakancilan banjir pada musim kering, mempermainkan petir, menyuruh hujan besar di waktu langit cerah, apalagi harimau-harimau, baru mendengar dukun-dukun sakti ini berdehem saja sudah panas dingin ketakutan (Komara, 1982:51). Dengan demikian kawih bwatuha mungkin merupakan nyanyian (nyanyian mantra?) para dukun sakti zaman Pajajaran.
Di sini penulis naskah menyebutkan, bahwa orang yang mengetahui terhadap lagu-lagukawih adalah paraguna. Dialah ahli lagu, ahli nyanyian, atau bisa berarti ahli karawitan (ahli lagu dari suara manusia dan bunyi-bunyian). Kata “para” di sini bisa menunjukkan kata jamak terhadap orang. “Guna” ditujukan kepada istilah suatu ahli bidang pekerjaan tertentu, dalam hal ini lagu atau nyanyian atau karawitan. “Paraguna” berarti mereka orang yang ahli dalam bidang karawitan.
Selanjutnya setelah menyebutkan nama-nama kawih, naskah ini menyebutkan beberapa nama dan jenis tarian, seperti dapat diperhatikan dalam kutipan berikut:
Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; sing sawatek (ka)ulinan ma, hempul tanya.
(Jika ingin tahu mengenai gerak tarian, misalnya: ceta maceuh, ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini; pokoknya berbagai permainan, tanyalah hempul).
(Saleh Danasasmita, dkk., 1987:83 & 107)
“Ceta” artinya “gerak’, dan bisa di diartikan sebagai “tarian”. Dalam naskah ini disebutkan beberapa ceta, yang tidak dapat diketahui bagaimana bentuk gerak dan permainannya. Akan tetapi naskah ini cukup memberi kepastian, bahwa pada masa kerajaan Pajajaran suatu gerak atau permainan yang teratur telah ada, serta ada pula ahlinya, yang disebut hempul.
Ceta maceuh berarti permainan yang ramai. Ceta nirus tidak dikenali artinya. Tatapukan,berasal dari kata “tapuk”, artinya topeng. Dengan demikian tatapukan berarti tari-tarian topeng.Babarongan artinya tarian yang pemainnya memakai topeng barong. Jika tapuk topengnya hanya dipasang pada bagian wajah, babarongan atau bangbarongan topengnya bisa menutupi seluruh kepala, serta disambung dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh membentuk imajinasi tokoh barong (monster). Babakutrakan, ubang-ubangan, dan neureuy panca, tidak dikenal artinya.Munikeun le(m)bur artinya menyembunyikan kampung. Ngadu lesung artinya membenturkan lesung. Mungkin yang dimaksud adalah kesenian tutunggulan atau gondang sekarang. Asup kana lantar,artinya memasuki “lantar” (?). Ngadu nini artinya mengadukan atau mempermainkan nenek-nenek.
Berita lainnya berkaitan dengan masalah kesenian pantun, seperti dapat diperhatikan dalam kutipan berikut:
Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya
(Bila ingin tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya).
(Danasasmita, dkk., 1987:83—84 & 107)
Nama-nama cerita ini tidak semuanya dapat dikenali. Langgalarang mungkin merupakan nama yang dalam cerita pantun, cerita rakyat, serta dalam naskah Cariosan Prabu Silihwangi (dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18), dan Prabu Siliwangi jeung Sanghiang Borosngora (1994), dikenal sebagai Prabu Anggalarang, nama seorang raja Pakuwan Pajajaran. Siliwangi dikenali sebagai anak Prabu Anggalarang. Banyakcatra dikenal dalam cerita rakyat Banyumas sebagai salah satu anak Prabu Siliwangi. Sedangkan nama Haturwangi sekarang tidak dikenal. Nama Siliwangi terkenal dalam pertunjukan pantun, tetapi sangat jarang tukang pantun yang mengisahkan khusus tentang diri Prabu Siliwangi. Fokus cerita pantun kebanyakan menceritakan anak-anak Prabu Siliwangi atau negara bawahan Prabu Siliwangi. Tetapi tukang pantun Akis dari Baros (Arjasari, Bandung) mempunyai cerita asal mula Prabu Siliwangi ini menurut versinya sendiri.
Untuk tukang pantun, naskah ini menyebutkan ahlinya dengan istilah prepantun. Selain memang berbunyi demikian, mungkin kata “pre” di sini merupakan variasi atau korup dari kata “para”, sehingga prepantun bisa diartikan mereka/orang-orang yang ahli dalam kesenian pantun.
Pengertian-pengertian di atas hanya merupakan suatu usaha untuk mengenali istilah-istilah, sifatnya sangat interpretatif, sehingga kebenarannya sangat relatif, karena kebenaran yang sesungguhnya hanya ada pada pengertian penulis naskah sendiri yang hidup pada zamannya.
E. Ratu Pakuan
Naskah yang menceritakan iring-iringan perpindahan Ratu Pakuan (Prabu Siliwangi) bersama permaisuri Ngabetkasih (Ambetkasih) dan madu-madunya—dari Dalem Sri Kancana Manik(dinamakan pula Dalem Timur Kadaton Wetan, Bumi Ringgit Cipta Ririyak, Sanghyang Pandanlarang, atau Dalem Si Pawindu Hurip) di Galuh, ke keraton Sri Bima (P)unta (N)arayana Madura Suradipati di bumi Pakuan—dibuka dengan kalimat:
Ini tjarita ratu pakuan, ti gunung ku(m)bang, gunu(ng) giri maja seda, patapaan pwahatji mangbang sijang.
(Atja, 1970:31)
(Ini ceritera Ratu Pakuan, dari Gunung Kumbang, gunung yang suci dan keramat, [tempat] pertapaan Pwahaci Mangbang Siyang).
Seperti diakui penulisnya, cerita Ratu Pakuan merupakan cerita dari dan dibuat di Gunung Kumbang, sebuah nama sama dalam naskah Sewaka Darma. Dalam Sewaka Darma di Gunung Kumbang terdapat pertapaan Ni Teja Puru Bancana di mana penulisnya pernah bertapa di tempat tersebut. Sedangkan dalam naskah Ratu Pakuan disebut pertapaan Pwahatji (Pwahaci) Mangbang Sijang (Siyang). Kedua tempat pertapaan atau perguruan (?) tersebut merupakan pertapaan (yang dipimpin) wanita. Nama Gunung Kumbang di sini terbuka kemungkinannya dengan gunung di daerah Brebes seperti dikemukakan dalam bahasan naskah Sewaka Darma di atas. Apalagi dalam naskah Ratu Pakuan pada baris ke-83 penulisnya menyebutkan nama gunung dan tempat lain di sekitar Gunung Kumbang, yaitu dalam kalimat:
Gunung guruh bukit sri prebakti, salaka sangnghija nusa, di susuku gunung ku(m)bang, bukit si salaka mirah, ma(n)dala sri kapu(n)duttan, di sanghija salalading, nu mepek na bumi manik, patapaan bagawat sang djaladjala.
(Atja, 1970:33)
(Gunung Guruh Bukit Sri Prebakti, Salaka Sang/ng/hiyang Nusa (permatanya pulau ini), di suku Gunung Kumbang, Bukit Si Salaka Mirah [bukit yang teristimewa], mandala Sri Kapunduttan [pemukiman suci Sri Kapunduttan], di Sanghiyang Salalading, yang datang memenuhi Bumi Manik [yang datang memenuhi tempat suci ini], [tempat] pertapaan Bagawat Sang Jalajala).
Juga pada baris ke-98 terdapat kalimat:
Mahannan di gunung ku(m)bang
Gunung gorak mandala terus patala
Patapaan batara djajaherang
(Atja, 1970:33)
(Memberi perbekalan di Gunung Kumbang
Gunung Gora/k/ yang keramat di bumi
tempat pertapaan Batara Jayaherang)
Gunung Guruh dan Gunung Gora merupakan nama-nama gunung di suku Gunung Kumbang tersebut. Sedangkan nama Sanghiyang Salalading mengingatkan pada tempat (kampung)Salagading. Nama Sang Jalajala mengingatkan ke nama tempat (kampung) Jalawastu sekarang di mana dalam naskah Bujangga Manik tempat ini diingatkan oleh nama Jalatunda, sebuah tempat keramat petilasan Silihwangi yang dikunjungi Bujangga Manik pada perjalanannya yang kedua kali pada abad ke-16. Kedua tempat ini berada di sebelah utara suku Gunung Kumbang dan keduanya merupakan kampung yang cukup teguh memegang adat lama. Di akhir cerita, naskah ini menulis nama “gunung larang sri mangata”, yang diartikan Atja (1970) sebagai nama tempat penulisan Gununglarang, dan menempatkannya di lokasi Gunung Cikuray, Garut. Akan tetapi jika melihat kutipan-kutipan di atas, Gununglarang sangat terbuka kemungkinan nama tempat (kampung) Gununglarang (kecamatan Salem) di selatan Gunung Kumbang yang juga dikunjungi oleh Bujangga Manik. Pada awal naskah nama ini telah disebutkan sebagai tempat asal penulisan naskah, meskipun tempat diketemukan naskahnya di kabuyutan Ciburuy (Garut), sebagai tempat tradisi penyimpanan naskah Sunda kuna.
Sebenarnya naskah Ratu Pakuan tidak memberikan gambaran adanya seni pertunjukan. Akan tetapi yang menjadikan perhatian bagi seni pertunjukan di sini adalah bahwa naskah ini memberikan gambaran suatu kegiatan iring-iringan yang ramai dan sangat indah. Hal ini mengingatkan akan kebiasan adat iring-iringan tradisi Sunda dalam seserahan pengantin. Gambaran iringan raja yang sangat panjang tersebut bukan tidak mungkin jika dimeriahkan dengan berbagai jenis kesenian. Jarak Galuh—Pakuan yang lebih dari seratus kilometer hanya bisa ditempuh dengan beberapa hari berjalan kaki atau kuda/kereta kuda. Perjalanan jauh yang pasti melelahkan ini memerlukan suatu hiburan sepanjang perjalannya. Pada masa ini memang telah ada jalan raya darat yang menghubungkan kedua kota ini seperti disebutkan sejarawan Tem Dam.
Dalam naskah ini terdapat nama yang menarik bagi seni pertunjukan, yaitu tokoh Tjalung Gi(n)tung yang adiknya, bernama Riyak Tapa, menjadi salah satu selir Ratu Pakuan, seperti dapat diperhatikan dalam kutipan berikut:
Deu(ng) nu geulis rijak tapa, ahisna dalung bang, deung tjalung gi(n)tung, putri titiga marujung.
(Atja, 1970:39)
(Dan si cantik Riyak Tapa, adik Dalung Bang, dan Calung Gintung, tiga putra-putri dari Maruyung)
Istilah “calung” sebagai nama instrumen musik dan pertunjukan telah dikenal dalam piagam Buwahan tahun 1181 (Kunst, 1968). Sangat menarik, bahwa nama instrumen ini dijadikan nama orang. Selanjutnya naskah Ratu Pakuan menyebutkan gaya orang (wanita) berjalan yang sangat indah, yaitu yang diistilahkan dengan kata dibatarubuhkeun (baris ke-440 dan 473). Batarubuhsekarang adalah nama salah satu gending/lagu gamelan. Untuk menyebutkan tubuh wanita yang indah ideal, naskah ini menyebutkan sebagai tubuh yang kadi (seperti) wayang-wayang (baris ke-450). Selanjutnya dalam iringan tersebut terdapat orang yang memakai topeng singabarong. Jelas ini menunjukkan bahwa iringan itu dimeriahkan dengan suatu seni pertunjukan iring-iringan (helaran;pertunjukan mobile) yang di dalamnya terdapat topeng (badawang) Singabarong. Pangeran Wangsakerta dari Cirebon dalam naskahnya Negara Kertabumi (1694) mencatat bahwa Sang Maharaja (Siliwangi) membuat pamingtonan (tempat/ruang pertunjukan) di kota Pakuan.
F. Prasasti Batutulis
Prasasti Batutulis di kota Bogor memuat angka tahun dengan sistem candrasangkala, berbunyi: Panca pandawa …ban bumi. Titik-titik pada “…ban” menunjukkan bahwa para ahli sejarah berbeda-beda tafsir bacaannya, karena hurufnya telah rusak tidak bisa dibaca. Hal ini akan berpengaruh terhadap nilai angka yang dikandungnya. Dengan letak “…ban” yang berada pada nilai angka ratusan, maka jika berbeda pembacaan akan mengakibatkan berbeda pula nilai angka tahunnya selama ratusan tahun. Lima orang yang telah membaca prasasti ini, lima tafsir pula yang dihasilkannya. Friedrich menafsirkan tahun 955 Saka (1033 Masehi), K.F. Holle menafsirkan tahun 1055 Saka (1133 Masehi), C.M. Pleyte menafsirkan tahun 1455 Saka (1533 Masehi), Hoesein Djajadiningrat menafsirkan tahun 1355 Saka (1433 Masehi), dan Poerbatjaraka menafsirkan tahun 1255 saka (1333 Masehi). Danasasmita telah mengkritisi tafsir tersebut, dan menghasilkan angka tahun yang selaras dengan tafsiran C.M. Pleyte, yang membaca “..ban” dengan “emban” dan bernilai angka 4, yaitu tahun 1455 Saka (1533 Masehi). Dengan demikian prasasti ini berasal dari masa kerajaan Pajajaran.
Bagi seni pertunjukan, yang menarik di sini adalah meskipun tidak ada artefak hidup mengenai kesenian wayang yang berasal dari zaman Pajajaran, tetapi dari berita prasasti dan naskah-naskah, ternyata Pajajaran sangat kental dengan dunia wayang. Nama keratonnya sendiri diambil dari nama tokoh dan negara dunia wayang (Sri Bima [P]unta [Na]rayana Madura). Pemilihan kata untuk candrasangkala Batutulis ini pun menggunakan kata dari dunia wayang. Bila diterjemahkan secara kalimat dan dikaitkan dengan nama keraton di Pakuan, maka candrasangkala ini (panca pandawa emban bumi) mengandung arti “keraton (panca pandawa; lima keraton Pakuan Pajajaran; negara; raja) Pakuan Pajajaran pengasuh/pengayom (emban) dunia (bumi)”. Dengan berkali-kalinya naskah dan prasasti menyebutkan istilah-istilah dari dunia wayang, sangat jelas, bahwa keraton (dan masyarakat) Sunda sangat kental dengan dunia (cerita; pertunjukan) wayang sejak dahulu kala, tidak hanya sejak zaman pembuatan jalan raya pos Daendels awal abad ke-19.
G. Decadas Da Asia
Joao de Barros (1496—1570) dalam bukunya yang terkenal Decadas da Asia (jilid ke-4; ditulis tahun 1560-an; terbit tahun 1615) memberitakan bahwa setelah kerajaan Sunda dan Portugis menyetujui suatu perjanjian persahabatan dan perdagangan di pelabuhan Kalapa tanggal 21 Agustus 1522, mereka kemudian memasang batu padrao sambil berpesta-pora, seperti dapat diperhatikan dalam kutipan berikut:
O padrão com grande festa, assi dos Portuguezes, como dos naturaes da terra, se metteo na barra do rio á mão direita da entrada delle em hum syio da terra, a que elles chaman Calapa, …
(Dengan berpesta-pora, baik pihak orang Portugis maupun pihak pribumi, Padrao itu dipasang pada tepi kanan muara sungai itu, di sebuah tempat yang mereka sebut Kalapa …)
(Heuken, 1999:52).
Padrao merupakan batu bertulis penguat perjanjian dan tanda bahwa Portugis telah sampai ke tempat bersangkutan. Padrao yang ditemukan kembali tahun 1918 ini sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Meskipun peristiwa tersebut dalam catatan Barros tidak ditemukan berita adanya suatu hiburan atau musik dengan tari-tarian, namun adanya sebuah kalimat “com grande festa” (dengan berpesta-pora), dapat diduga bahwa di sana terdapat musik dan tarian sebagai salah satu tanda adanya suatu pesta keramaian atau kegembiraan. Di Sunda, baik pada masa lampau maupun sekarang, untuk suatu peristiwa yang dianggap penting biasanya selalu disertai dengan adanya pertunjukan kesenian. Berbagai peristiwa yang menyangkut siklus kehidupan manusia Sunda hampir selalu disertai dengan suatu hiburan, baik bersifat ritual maupun profan. Siapakah yang hadir dalam pesta-pora perjanjian Kalapa tersebut? Tak dapat disangkal, mereka adalah “assi dos Portuguezes, como dos naturaes da terra” (pihak orang Portugis maupun pihak pribumi), seperti dicatat Barros.
Balthasar Memdes, penulis dari kapal San Sebastion, yang ikut hadir, menyaksikan, dan mencatat perjanjian Kalapa 21 Agustus 1522 ini memberitakan, bahwa Rey de Çumda—Raja Sunda; yang tahun 1512 dan 1521 pernah diutus raja Sunda pendahulunya, Prabu Siliwangi, ke pangkalan Portugis di Malaka—mengutus pejabat tingkat atas ke perjanjian Kalapa tersebut, yaitu orang yang bernama mandarim Padam Tumungo (Menteri Paduka Tumenggung), Samgydepaty (Sang Adipati),Benegar (Bendahara), juga hadir Xabamdar da terra per nome Fabyan (Sahbandar dari tempat pabean), dan asy outros muitos homeens homrrados (banyak orang baik). Sedangkan dari pihak Portugis dipimpin oleh Capitao Henrique Leme, serta disaksikan oleh pengikutnya, yaitu Fernao de Almeida (kapten jung serta pedagang pangkat atas Raja Portugis), Franscisco Annes (pencatat muatan kapal), serta para tentara Manuel Mendez, Sebastian Diaz do Rego, Fransisco Diaz, Joham Coutinho, Joham Golcavez, Gil Barbosa, Tome Pinto, Ruy Goncalvez, Joham Rodriguez, Joham Fernandez, Diogo Fernandez, Diogo Diaz, Afonso Fernandez, Nicolas da Silva (juru tinggi kapal),George de Oliveira (juru mudi), dan banyak lagi (Heuken, 1999:48—53). Mereka yang hadir dalam perjanjian internasional inilah yang dalam Decadas da Asia disebutkan grande festa (berpesta-pora), serta mungkin menyaksikan dan atau terlibat dalam suatu pertunjukan kesenian atau tari Sunda—baik orang Sunda maupun Portugis—di pelabuhan Kalapa, yang menurut Tome Pires (1468—1539) merupakan pelabuhan terpenting, terbaik, dan paling ramai di kerajaan Sunda. Sebagai tanda suatu persahabatan, bahkan bukan tidak mungkin pula jika diperkirakan orang Portugis pun mempertunjukkan kesenian mereka, dan warga kerajaan Sunda yang hadir di perjanjian Kalapa 21 Agustus 1522 terlibat di dalamnya.
Berbeda dengan Balthasar Memdes, Joao de Barros meskipun tidak langsung menyaksikan peristiwa perjanjian di Kalapa itu, tetapi catatan Joao de Barros sebagai sumber sejarah dapat dipercaya, karena ia merupakan seorang yang menerima pendidikan bermutu di istana pewaris tahta Portugis, serta ia bekerja sebagai pejabat instansi yang menerima semua berita Portugis dari Asia. Dengan demikian dia menerima berita secara first hand information ‘memperoleh informasi dari pelaku sejarah sendiri’ (Heuken, 1999:71). Pesta pora (dengan kesenian) tersebut diperkirakan merupakan suatu pertunjukan Sunda, karena penduduk Kalapa pada masa lampau merupakan masyarakat Sunda, pelabuhan dan wilayah Kalapa merupakan wilayah di bawah kerajaan Sunda, serta perjanjian ini pun dilakukan oleh penguasa kerajaan Sunda. Seperti dikatakan Muhadjir (2000:38), sebagai bagian dari kerajaan Sunda tentunya bahasa yang dipakai di Kalapa ini adalah bahasa Sunda. Sedangkan masyarakat Betawi yang dikenal sekarang baru terbentuk pada masa abad ke-19, yaitu dengan berdasarkan pada gejala bahwa pada abad tersebut suku-suku pendatang—sebagai cikal bakal ‘suku’ Betawi—mulai luntur identitas suku asalnya dan kemudian menjadi identitas campuran dari berbagai suku pendatang, yang pada masa selanjutnya disebut ‘suku’ Betawi (Heuken, 1997:311).
H. Kidoeng Soenda
Kidoeng Soenda menceritakan rencana perkawinan Citraresmi atau Dyah Pitaloka (putri raja Sunda, Prabu Maharaja [Linggabuana]) kepada Raja Hayam Wuruk (raja Majapahit), yang berujung pada kesedihan karena terjadi peperangan akibat kesalahpahaman di antara dua kerajaan, Sunda dan Majapahit. Dalam sejarah, peristiwa ini terjadi tahun 1357. Rombongan raja Sunda berangkat menuju Majapahit melalui suatu pelabuhan laut utara (mungkin pelabuhan Muara Jati, karena ibukota Sunda waktu itu berada di Kawali, daerah Sunda sebelah timur). Dalam tradisi perkawinan di kalangan kaum bangsawan pada waktu itu, pihak isteri menuju pihak laki-laki. Hal ini dapat diketahui dari berbagai cerita dan peristiwa perkawinan di kalangan bangsawan sampai masa kerajaan dan kabupaten selanjutnya, baik di Jawa maupun Sunda (bahkan melamar pun dilakukan perempuan, seperti dilakukan Sakean Kilat Bancana dalam melamar Bujangga Manik). Rombongan raja Sunda membawa segala perlengkapan pesta serta perangkat musik untuk membuat suasana ramai, baik di perjalanan maupun ketika beristirahat. Ketika kapal mulai berlayar, Kidoeng Soenda menulis:
Breng sakabeh tatabeuhan, disada asa kaindit, kapal lalaoenan nengah, kabeneran meunang angin, sakabeh para mantri, rangga demang djeung toemenggoeng, ngangin di loehoer kapal, naringali ka basisir, wararaas asa rek pindah nagara.
Tambah koe sora gamelan, ngoengkoeng di tengah djaladri, wadya bala soesoerakan, koe bawaning soeka ati, djaoeh tina karisi, kawantoe sagala tjoekoep, teu koerang sandang-pangan, teu inggis manggih balai, boga rasa anoe bakal bela.
(Kidoeng, 1928a:53—54)
(Semua alat musik dibunyikan, bunyinya mendukung semangat rombongan, kapal pelan-pelan ke tengah lautam, kebetulan angin bertiup, semua para mentri, rangga demang dan tumenggung, berangin-angin di atas kapal, semua melihat ke pantai, indah seperti mau pindah ke negara lain.
Tambah lagi terdorong bunyi gamelan, bergemuruh di tengah laut, para pengikut bersorak-sorai, karena senangnya, jauh dari takut, karena serba cukup, tidak kurang pakaian dan makanan, tak khawatir [barangkali nanti] terjadi kecelakaan, [karena] berpikiran [nanti juga] akan ada yang membela).
Selanjutnya, setelah kapal-kapal sampai di pelabuhan Canggu, terus ke hulu memasuki sungai Brantas menuju Bubat. Di alun-alun Bubat rombongan raja Sunda beristirahat untuk menunggu jemputan raja Majapahit. Perundingan yang diwakili Anepaken (patih Sunda) di ibukota Majapahit menemui kegagalan, karena Gajah Mada (patih Majapahit) berkehendak lain. Ternyata Gajah Mada telah siap dengan prajurit yang siap berperang. Mendengar dan menyaksikan laporan Anepaken, rombongan raja Sunda yang tidak dipersiapkan untuk suatu perang terbuka itu—mereka disiapkan untuk mengiring pesta pernikahan—meskipun merasa tertipu dan dalam keadaan bahaya, tetap tenang, dan siap membela kehormatan bersama rajanya, jika pun sampai terjadi suatu kemungkinan yang paling tidak menguntungkan. Kidoeng Soenda mengambarkan ketenangan ini pada bait berikut dengan gambaran kesenian:
Djaoeh karisi kasoesah, wadyabala siga noe memekasi, seubeuh dahar seubeuh nginoem, seubeuh eak-eakan, sora goong ngoengkoeng nepi ka isoek, beurang ganti tatabeuhan, peuting raramean deui.
(Kidoeng, 1928b:20)
(Jauh dari rasa susah, para pengiring seperti orang yang sebentar lagi akan meninggal, makan kenyang minum kenyang, bersorak-sorai sepuas-puasnya, bunyi goong [gamelan; musik] bergema sampai pagi, siangnya musik ganti lagi, malamnya berpesta musik lagi)
Dalam keadaan menghadapi bahaya di depan mata, mereka digambarkan tenang dan bersuka-ria siang malam dengan menabuh atau bermain goong (gamelan; musik), seperti disebutkan di atas, yang dibawanya dari keraton Sunda. Ketika terjadi peperangan, bunyi gamelan (musik) bergema memberi semangat.
Perdjurit barahmasara, anu ngagem pakarang bangsa bedil, diheulakeun sina madjoe, naradjang oerang Soenda, dibarengan koe soerak djeung goong ngoengkoeng …
(Kidoeng, 1928b:29)
(Para prajurit pemanah, dan yang bersenjata api, pertama kali maju, menyerang orang Sunda, sambil bersorak-sorai dan bunyi goong bergema …).
Dalam pengepungan Bubat itu, setelah bertempur mati-matian para ksatria Sunda akhirnya satu persatu berguguran, dan Citraresmi mati-bela, membela kehormatan diri dan negaranya.
Dalam Kunst (1968) disebutkan, Kidung Sunda (terjemahan C.C. Berg) yang berasal dari akhir abad ke-14 memuat nama-nama instrumen musik sebagai berikut: bheri, curing, ghenta, gong, gubar, guntang, kendang, mrdangga, pangarah, tabeh-tabehan, dan tatabuhan. Sedangkan Kidung Sundayana atau Kidung Sunda versi C (terjemahan C.C. Berg) memuat nama instrumen musik:bende, bheri, garantung, gong, gubar, mahasara, mardala, dan tatabuhan.
I. Gaguritan Sunda
Dilihat dari jalan cerita dan nama-nama tokohnya, Gaguritan Sunda bersumber sama (meski tidak dari turunan pertama) dengan Kidoeng Soenda, tetapi penuturannya lebih pendek dan ringkas. Seperti dalam Kidoeng Soenda, di sini terdapat gambaran kesenian pada waktu keberangkatan rombongan raja Sunda, yaitu:
Rontek kober lan gambelan, saha pirantining agunge luwih, sinamian cumawis sampun, sowang ngamongin gaginan, sampun tragya, pamargine wus ngalantur, bahita prahu layar, Majapahite kaungsi.
Gagambelan tinabehan, suarannyane ngareni manguci, nganyih-nganyih ngetus kayun, pangiringe magiyakan, sami ledang, meled ida dane ipun, malaca wiwahan ida, sira ratu raden dewi.
(Sutedja, 1995:18)
(Bendera dan gamelan, juga peralatan lainnya sangat bagus, semua sudah siap, orang-orang bersiap-siap, sudah siap, perjalanan sudah siap, perahu berlayar, menuju Majapahit.
Gamelan dibunyikan, suaranya bersahut-sahutan, menyerap ke rasa (hati) [menembus kalbu], pengikutnya pada senang, dan juga yang lainnya, mendukung pernikahannya, dialah ratu raden dewi).
Penulis Gaguritan Sunda menggambarkan kesenian rombongan raja Sunda itu berupagagambelan (gamelan) yang dibawa dan dipersiapkan dari keraton Sunda. Meskipun kemungkinan penggambaran penulisnya berdasarkan sudut pandang Bali, tetapi tidak menutup kemungkinan dia mengetahui bahwa gamelan (gagambelan) dikenal pula di tanah Sunda dan biasa dibawa ketika mengadakan suatu perjalanan. Hal ini memang terbukti bila diperhatikan dalam uraian naskah-naskah Sundanya sendiri.
Penutup
Adanya data yang berkaitan dengan peristilahan seni pertunjukan Sunda dalam beberapa naskah kuna mengandung arti, bahwa tradisi seni pertunjukan di Sunda telah cukup lama hidup dan berkembang sejak masa lampau. Hal ini dapat menunjukkan bahwa pada setiap peradaban dan setiap masa dalam suatu komunitas masyarakat biasanya terdapat suatu kegiatan kesenian atau seni pertunjukan, baik bersifat ritual maupun profan, apalagi jika pada masa tersebut telah ada lembaga kemasyarakatan yang teratur (seperti adanya lembaga kampung sampai lembaga kerajaan).
Data kesenian yang tercantum dalam naskah dan prasasti menceritakan berbagai hal yang sezaman dan yang lebih lampau daripada masa penulisannya. Validitas data dari zaman yang lebih lampau tidak lebih sahih daripada data berita seni pertunjukan yang berasal dari zaman ketika naskah ditulis. Naskah berupa salinan (atau saduran) dari naskah yang lebih tua tidak menutup kemungkinan adanya korup dan penambahan data, kata, atau kalimat, berdasarkan pengetahuan penulisnya. Berita seni pertunjukan Sunda pada masa lampau terjadi pada zaman dan periode tertentu. Hal ini dapat dikatagorikan berdasarkan isi cerita dan zaman atau tahun penulisan naskah.
Berdasarkan isi cerita dalam naskah, zaman, dan tahun, asal peristilahan dan peristiwa seni pertunjukan Sunda dapat dikelompokkan menjadi tiga zaman, yaitu:
- Zaman kerajaan Galuh, tahun 612—825.
- Zaman ketika kerajaan Sunda beribukota di Kawali (Galuh) tahun 1333—1482.
- Zaman ketika kerajaan Sunda beribukota di Pakuan, tahun 1482—1579. Pada masa ini kerajaan Sunda terkenal dengan sebutan kerajaan Pajajaran.
Sedangkan berdasarkan tahun penulisan atau usia naskah, zaman, dan tahun, asal peristilahan dan peristiwa seni pertunjukan Sunda dapat dikelompokkan paling tidak menjadi lima zaman pemerintahan (pemerintahan kenegaraan), yaitu:
- Zaman ketika kerajaan Sunda beribukota di Kawali (Galuh) tahun 1333—1482.
- Zaman ketika kerajaan Sunda beribukota di Pakuan (zaman Pajajaran), tahun 1482—1579.
- Zaman setelah keruntuhan kerajaan Pajajaran (1579). Zaman ini terdiri dari zaman kerajaan Sumedanglarang (1580—1620), zaman Pasundan Eksiganda (Priangan 1620—1677), dan zaman VOC (1677—1799).
- Zaman Hindia—Belanda (1800—1942).
- Zaman RI (1945—sekarang).
Sebagai salah satu bagian dari seni pertunjukan di Nusantara, usaha identifikasi khusus yang mengarah ke permasalahan sejarah seni pertunjukan Sunda dari sumber prasasti, naskah kuna, dan artefak seni pertunjukan buhun (kuna) yang masih hidup, sangat penting untuk dikemukakan. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi kepentingan pengetahuan masa lampau seni pertunjukan Sunda. Oleh karena itu tulisan ini mungkin merupakan salah satu usaha awal penyelusuran terhadap sejarah masa lampau seni pertunjukan Sunda.
***
KEPUSTAKAAN
Aksan, Hermawan
1992 “Benda-benda Kuno di Gunung Sagara”, dalam Pikiran Rakyat 18 Oktober 1992,Bandung.
Atja
- Tjarita Parahijangan. Bandung: Jajasan Kebudayaan Nusalarang.
- Ratu Pakuan. Bandung: Lembaga Bahasa dan Sedjarah
1994 Prabu Siliwangi jeung Sanghiang Borosngora. Cet ke-4. Bandung: Rachmat Cijulang.
Atmamihardja, R. Ma’mun
1958 Sadjarah Sunda. Bandung—Djakarta: Ganaco.
Danasasmita, Saleh
2003 Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran jeung Prabu Siliwangi. Bandung: Girimukti.
Danasasmita, Saleh, dkk.
1983 Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Bandung: Proyek Penerbitan Buku Sejarah Jawa Barat Pemerintah Propinsi daerah Tingakt I Jawa Barat.
1987 Sewaka Darma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat Galunggung. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Heuken SJ, Adolf
1997 Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
1999 Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta (Jilid 1). Jakarta: Cipta Loka Caraka.
Iskandar, Yoseph
1997 Sejarah Jawa Barat (Yuganing Rajakawasa). Bandung: Geger Sunten.
Kidoeng [Tubagus Djajadilaga?]
1928a Kidoeng Soenda. Jilid I. Weltervreden: Bale Poestaka.
1928b Kidoeng Soenda. Jilid II. Weltervreden: Bale Poestaka.
Kunst, Jaap
1968 Hindu-Javanese Musical Instruments. Secod revised and enlarged edition. The Hague: Martinus Nijhoff.
Muhadjir
- Bahasa Betawi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Moriyama, Mikihiro
2005 Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia.
Lubis, Nina H.
1998 Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800—1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Noorduyn, J.
1984 “Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa: Data Topografis dari Sumber Sunda Kuno”. Terj. Iskandarwassid. Jakarta: KITLV & LIPI.
Poerbatjaraka, R.M.Ng.
1952 Kepustakaan Djawa. Jakarta: Djambatan.
Salmun
1958 Kandaga Kasusastran. Djakarta—Bandung: Ganaco.
1961 Padalangan. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarsono, R.
- Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: Konservatori Tari.
Sunarto H & Viviane Sukanda-Tessier
1983 “Cariosan Prabu Silihwangi”. Jakarta—Bandung: Ecole Francaise d’Extreme-Orient.
Sutedja, I Wayan
- Gaguritan Sunda. Denpasar: BP.
Unpad
t.th. “Tiga Puisi Sunda Kuno (Tree Old Sundanese Poems)”. Bandung: Unpad.Uad.fs.
Widjaja Kusuma, R.D. Asikin
1961 Tina Babad Pasundan. Bandung: Kalawarta Kudjang.
Oleh : D i d i W i a r d iSTSI Bandung
http://didiwiardi.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
Oleh : D i d i W i a r d iSTSI Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar