Lumping (wayang kulit) Cirebon mengenal banyak tokoh dan banyak perbedaan disbanding dengan Wayang kulit Jawa Tengah, terutama perbedaan tokoh panakawan. Diduga setelah penguasaan oleh Mataram pada paruh kedua abad 17, ternyata wayang Cirebon tidak terpengaruh oleh perubahan penguasaan Mataram di Jawa Barat. Begitu pula dengan wayang golek Cirebon. Banyaknya lakon dan wayang merupakan sumber yang kaya untuk pengetahuan yang dianggap bersejarah di darah Cirebon dan Sumedang.
Generasi tua di Cirebon menjunjung tinggi hal-hal tradisional serta legenda, sehingga legenda itu tetap hidup. Di Kaliwedi , Arjawinangun, terdapat mitos, adanya dua buah wayang yang dibungkus dengan beberapa lembar kain putih; yang satu dikenal dengan Semar, yang satu lagi “hanya dikenal sebagai teman Semar”. Setelah petani menebarkan benih padi di sawah, maka pada malam Jum’at Kliwon, mereka akan datang menyambangi wayang ini, dengan membawa air untuk diberkati, sebagai syarat keberhasilan usaha tani nya, dan berharap panennya baik.
Generasi tua di Cirebon menjunjung tinggi hal-hal tradisional serta legenda, sehingga legenda itu tetap hidup. Di Kaliwedi , Arjawinangun, terdapat mitos, adanya dua buah wayang yang dibungkus dengan beberapa lembar kain putih; yang satu dikenal dengan Semar, yang satu lagi “hanya dikenal sebagai teman Semar”. Setelah petani menebarkan benih padi di sawah, maka pada malam Jum’at Kliwon, mereka akan datang menyambangi wayang ini, dengan membawa air untuk diberkati, sebagai syarat keberhasilan usaha tani nya, dan berharap panennya baik.
Pemberkatan air dilakukan dengan cara membuka bungkus wayang, kecuali lapis terakhir – dan hanya kuncenlah yang diperkenankan melihat wayang itu, kemudian wayang itu dibenamkan ke dalam air, disertai sedekah dari petani – wayang kenudian dibungkus lagi dan upacara selesai. Kain pembungkus itu amat diminati para petani, yang dapat diperoleh dengan menukarnya dengan kain yang baru.
Bila kuncen mendapatkan tangan-tangan wayang lepas dari ikatannya, maka hal itu merupakan pertanda panen gagal atau akan adanya bencana maupun wabah. Menurut keterangan, tangan yang lepas itu akan melekat kembali kepada wayangnya.
Upacara ini menunjukkan fungsi Semar sebagai Dewa Kesuburan Pertanian, biasanya sebelum menayangkan Semar , Dalang wayang Cirebon (biasanya dalang Wayang kulit yang kondang akan piawai pula memainkan wayang golek), akan menembangkan “pustaka ramakawi”:
Semar winangun tikang sara wara,
Dewa maya-maya katon raganing kelir,
Siti Bentar kang peputra
Semar asihe pendawa…
Semar mempunyai nama lain yaitu Kudapawana, Watukumpul dan Badranaya.
Terdapat versi keberadaan – silsilah Semar. Di Onderdistrik Kapetakan, Distrik Arjawinangun, versi keberadaan Semar diterangkan sebagai berikut:
Sanghyang Wenang menikah kepada Dewi Arini (Nurini) putri Prabu Ari (Nuradi) dari Pulau (Puncak gunung ) Keling, dan berputra Sanghyang Tunggal.
Pada suatu saat Sanghyang Tunggal bertapa, dan di tempat ia bertapa, tanahnya membesar, membuncah serta meledak,pecah keluarlah Dewi Siti Bentar, yang kemudian dinikahi oleh Sanghyang Tunggal.
Dari pernikahan ini Sanghyang Tunggal mempunyai 9(sembilan) anak, dua diantaranya lelaki yaitu Sanghyang Tismaya dan Sanghyang Ismaya.
Ketika di Suralaya akan diadakan pemilihan pengganti Sanghyang Tunggal sebagai penguasa Kahyangan , semuanya berminat menjadi penguasa, dan diadakanlah sayembara : Sesiapa yang dapat mencapai Bale Mercupunda, tanpa melorot kembali, dialah yang diangkat menjadi penguasa Suralaya atau Dewa Utama.
Sanghyang Tismaya berhasil mendapatkannya dengan tidak melorot, ia diangkat menjadi Batara Guru.
Sanghyang Ismaya atau Sanghyang Munged, gagal, jatuh ke bumi, namun ia dari Bale Murcupunda ia mendapatkan jimat Layang Kalimasada (yang kemudian diartikan sebagai Kalimah Sahadat, sebetulnya adalah Kali - Maha - Usada, judul kitab pengobatan kepunyaan Dewi Kali).
Setelah berada di atas bumi, Sanghyang Munged mencari seorang majikan, kemudian Palasara lah yang menjadi majikan sanghyang Munget, kemudian menjadi Raja Astina. Palasara bersedia menjadi majikan dan menerimanya sebagai Panakawan dengan syarat sanghyang Munged mengubvah penampilannya menjadi buruk. Sanghyang Munged melepas bungkus Layang Kalimasada, dan menempelkannnya kepada badannya sehingga mengubah bentuk tubuhnya, ia menjadi Semar yang berasal dari kata Samar. Jimat Layang Kalimasada diserahkannya kepada Palasara.
Semar menikah dengan Sudiragen, titisan dari isterinya di alam Kahyangan, yaitu Dewi Sanggani (puteri Umayadewa) , dari Sudiragen Semar tidak memperoleh anak. Tetapi Palasara menyuruh Semar untuk mempunyai panakawan pembantu.
Semar menciptakan panakawan dan diakui sebagai anaknya, yaitu:
- Ceblog, dari gagang daun kelapa (papah blarak)
- Bitarota, dari orang-orangan sawah (unduh-unduh)
- Duwala,dari bonggol atau tonggak bambu (bonggolan pring)
- Bagong, dari daun kastuba (kliyange godong kastuba)
- Bagalbuntung , dari bonggol jagung (bagal jagung)
- Gareng, dari potongan kayu gaharu
- Cungkring atau Petruk, dari potongan bambu (anjir dawa).
Versi lain menyebutkan bahwa:
- Ceblog, dari kayu sempu
- Bitarota, dari tumbuhan rambat “tungkul”
- Duwala,dari kayu panggang
- Bagong, dari tunggak jati
- Bagalbuntung , dari kemandi, sejenis benalu
- Gareng, dari benalu kayu panggang,
- Cungkring atau Petruk, dari pohon randu.
Peran Semar pada wayang Cirebon, tetap sama dengan peran Semar pada wayang lainnya. Beberapa sifat dan perilaku anak-anak Semar:
- Ceblog, pemberani dan berangasan
- Bitarota, pendiam dan halus perasaannya
- Duwala, tokoh yang gembira, suaranya menggembirakan majikannnya apabila menembang, namun jika bicara sengau
- Bagong, suaranya serak, kasar, selalu berbahasa Sunda, jika berkelahi ia ,menumbuk “lawan”nya dengan kepala
- Bagalbuntung , bicaranya pelo
- Gareng, sombong,angkuh
- Cungkring atau Petruk, selalu tampil dengan cerutu yang menyala untk menyerang lawannya, sifat dan perilakunya praktis sama dengan wayang Jawa Tengah.
TOKOH PANAKAWAN WAYANG CIREBON (1)
oleh : E.W.Maurenbrecher – Pensiunan Asisten Residen Tjirebon –
Naskah tahun 1936 – majalah DJAWA : tijdschrift van het Java Instituut – Jogjakarta.
(terjemahan bebas oleh Bapak Sadeli)
oleh : E.W.Maurenbrecher – Pensiunan Asisten Residen Tjirebon –
Naskah tahun 1936 – majalah DJAWA : tijdschrift van het Java Instituut – Jogjakarta.
(terjemahan bebas oleh Bapak Sadeli)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar