Selasa, 24 Januari 2012

Suluk Abdul Jalil "Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar" (1&2)



Kisah ini dimulai ketika Raden Ketib, seorang putra dari Pangeran Surodirejo Adipati Palembang , menimba ilmu sebagai santri di Giri Amparan Jati yang terletak di lereng gunung Sembung di tlatah Kasunanan Cirebon Girang.
Sebagai salah satu pesantren yang ada di Nusa Jawa ini, Giri Amparan Jati juga tak luput dari prahara yang melanda kaum muslim yaitu antara pengikut Syaikh Siti Jenar (Syaikh Lemah Abang ) yang disebut sebagai "Islam Abangan" dengan para santri Islam fundamentalis yang disebut "Islam Putihan".
Perseteruan dua kelompok ini telah menimbulkan banyak korban jiwa, iblis telah menebarkan prahara di bumi dan darah terbanyak yang membasahi bumi adalah di pihak santri abangan yang di anggap telah keluar dari jalur Islami akibat ajaran sang wali yang dianggap sesat dengan mengajarkan ajaran "Manunggaling Kawula Gusti"
Giri Amparan Jati pada saat itu (paro pertama abad 16) menerapkan aturan sangat keras yaitu melarang para santrinya untuk membicarakan perihal Syaikh Siti Jenar, apalagi mengenai ajarannya. Karena yang menetapkan larangan adalah Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, pengasuh pesantren dan sekaligus juga Susuhunan Cirebon Girang maka peraturan itu harus ditaati oleh semua santri tanpa terkecuali.
Sebagai seorang santri yang berusia 16 tahun dan punya bakat yang pintar dan kritis, Raden Ketib saat itu menyadari ada sesuatu yang ditutup-tutupi dan ada ketidak wajaran tentang aturan yang satu itu.

Sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, semakin dilarang semakin keras rasa ingin tahunya tentang kisah prahara yang dramatis dalam sejarah Islam di Nusa Jawa, tragedi manusia memakan manusia, Islam membunuh Islam.
Dengan berbagai upaya yang tidak mudah dan atas bantuan kakeknya (Pangeran Pamelakaran) akhirnya secara sembunyi-sembunyi Raden Ketib dapat berjumpa dengan orang yang bernama Ki Gedeng Pasambangan, sahabat dekat Syaikh Datuk Abdul Jalil yang lebih dikenal dengan Syaikh Siti Jenar.
Dari Ki Gedeng Pesambangan inilah cerita sang Wali yang dianggap sesat oleh sebagaian orang itu mengalir :
Dikisahkan seorang santri yang bernama San Ali tengah menimba ilmu di Pondok (saat itu belum bernama Pesantren) Giri Amparan Jati. Sebagaimana santri-2 lainnya San Ali yang baru berumur 6 tahun menimba ilmu agama bersama-sama, mengikuti aturan-aturan dan tugas-tugas yang ditetapkan dibawah bimbingan gurunya Syaikh Datuk Kahfi.
San Ali adalah putera dari Ki Danusela sang kuwu Caruban dan sejak kecil sudah menjadi yatim piatu. Sejak awal gurunya sudah melihat ada keanehan pada diri San Ali yang senang menyendiri. Hal ini berbeda dengan teman-2nya yang suka bermain-main setelah melaksanakan tugas pondok. Sebagai seorang guru yang khowas (mumpuni) Syaikh Datuk Kahfi menyadari bahwa San Ali mempunyai bakat dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh anak-anak seusianya.
Kesendirian San Ali tidak ada hubungannya dengan statusnya sebagai anak yatim piatu, tetapi ini terkait dengan kesukaannya mengamati kebiasaan penduduk sekitar pondok Giri Amparan Jati yang mempunyai kebiasaan membuat sesaji buat persembahan. Menurut mereka sesaji itu sengaja mereka sembahkan pada saat-sat tertentu buat penguasa jagat raya (Tuhan) agar diberi keselamatan dan diberikan hasil panen yang melimpah.
Tentu saja ini menimbulkan banyak pertanyaan di benak San Ali kecil, bukankah gurunya mengatakan bahwa manusia hanya diwajibkan percaya dan menyembah Tuhan, tidak ada perintah untuk membuat persembahan apalagi sesaji.
Seiring perjalanan waktu, San Ali telah tumbuh dewasa dan mulai dapat menggunakan nalarnya tentang keberadaan Tuhannya, gurunya semakin dapat melihat dengan jelas kelebihan yang dimiliki oleh murid sekaligus cucu angkat tersayangnya itu. Hanya saja Syaikh Datuk Kahfi seringkali menangis dalam hatinya karena sebagai guru yang agung dia menyadari bahwa kelebihan yang dimiliki San Ali justru akan membuat muridnya itu ke jurang pertikaian antar manusia dan antar agama. Hal ini mengingat pendalaman tentang agama yang dimiliki San Ali belum tentu bisa dijabarkan dan dimengerti oleh orang kebanyakan pada saat itu.
Mereka yang masih dalam taraf belajar Islam pada saat tentu saja tidak bisa mengikuti jalan pikiran muridnya itu dan justru seringkali diskusi yang dilakukan bersama-sama santrinya, mereka dibuat bingung oleh pertanyaan-2 dan argumen yang dilontarkan oleh San Ali.
Akhirnya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, San Ali diasuh secara langsung oleh Syaikh Datuk Kahfi dan tidak boleh menyebarkan pendapatnya kepada para santri lainnya.
Semakin lama jiwa San Ali mengalami kegelisahan yang mendalam, bagai jiwa yang haus ilmu pengetahuan keTuhanan dia berada dalam alam kebingungan menyadari hakekat "aku" pada dirinya. Bukankah agama mengajarkan intisari hakekat "inna li Allahi wa inna ilaihi rajiun ", yang bermakna sesungguhnya semua "aku" berasal dari "AKU" dan semua 'aku" akan kembali ke "AKU" sebagai asal segala "aku".
Dia mulai mempertanyakan segala ibadah yang selama ini telah ia lakukan, untuk siapakah ibadahnya selama ini ? Untuk "aku", tapi "aku" yang mana ? Jika keberadaan / hakekat "aku" saja belum bisa dimengerti, bagaimana bisa sampai ke "AKU" yang menyelimuti alam semesta.
Mengerti kondisi muridnya itu, secara bijak gurunya menyarankan agar San Ali untuk pergi mencari sang "AKU" yang selama ini di rindukannya dengan cara merantau. Diiringi isak tangis pilu dan hati yang pedih Syaikh Datuk Kahfi merelakan kepergian cucu satu-satunya itu untuk menggali ilmu lebih dalam dan memuaskan rasa dahaganya akan ilmu agama demi pencarian sejati dari hakekat "aku".
Berbekal ilmu yang diperolehnya selama dalam pondok, baik ilmu agama maupun ilmu kanoragan yang dimiliki, dimulailah perjalanan seorang anak manusia mengikuti arah angin yang membawa langkah kakinya menuju puncak yang tidak ada batasnya demi mencari "kebenaran sejati".

Tubuhnya jangkung, tegap, dan berotot. Kulitnya putih kemerahan, hidungnya mancung, alis matanya tebal. Matanya setajam elang. Postur tubuhnya yang lain dari kebanyakan orang pribumi membuat San Ali mudah dikenali. Apalagi mendengar namanya yang sangat asing ditelinga menunjukkan bahwa dia adalah salah satu peranakan Melayu-Gujarat.
San Ali adalah sebuah nama yang mulai banyak dikenal karena seringnya dia keluar masuk hutan, berkunjung dari satu desa ke desa lainnya dan bergaul dengan berbagai kalangan untuk mencari Tuhannya. Para Brahmin (pendeta Hindu) tidak keberatan malah dengan suka cita berdiskusi dengan San Ali tentang masalah keTuhanan sesuai dengan ajarannya masing-masing. Tidak ada yang merasa dipojokkan untuk mempertahankan kebenaran agamanya. Malah sebaliknya semakin bertambah wawasan ilmu untuk menemukan kebenaran sejati.

Dari beberapa pengamatan tentang kehidupan selama perantauannya, San Ali semakin merasa penasaran dengan apa yang dia peroleh. Misalnya tentang perbedaan antara orang-orang durhaka dan celaka, seperti : penjudi, pemabuk, pencuri, perampok, pelacur, penipu, pembunuh dan pemuja berhala yang bakal menempati neraka. Sebaliknya orang-orang yang saleh dan beruntung yang bakal menghuni surga.
San Ali melihat, bahwa persoalan ini hanyalah masalah penundaan waktu belaka. Intinya orang yang masuk neraka sudah melaksanakan hal-hal yang dilarang agama pada saat di dunia, sedang orang yang masuk surga melakukannya pada saat orang itu sudah meninggal dan masuk surga, karena di surga mereka bebas minum khamr, menikmati 40 bidadari, bersenang-senang dan tidak ada larangan apapun.
Jadi apa bedanya perbuatan itu ? Yang satu dilampiaskannya di dunia, yang lainnya menunggu di akherat.

Yang di neraka pasti mendapat siksa, sedang yang di surga bisa berbuat apapun yang disuka. Atas dasar apa Gusti Allah menentukan golongan manusia yang akan masuk neraka (celaka) sedangkan golongan lain masuk surga (beruntung). Bukankah Gusti Allah itu Maha Adil ? Kenapa membeda-bedakan antara satu dengan yang lain ? Bukankah mereka itu lahir kedunia bukan atas kehendaknya sendiri kemudian setelah mati harus mendapat siksa di neraka. Kenapa Gusti Allah yang mempunyai sifat Ar- Rahman & Ar-Rahim begitu tega menyiksa ?

Bagaimana dengan aku (San Ali) ? Kalau aku masuk neraka, berarti AKU (Tuhan) juga masuk neraka ? Bukankah dalam diri aku juga ada AKU ?

Petualangan San Ali dalam mencari Tuhannya masih diselimuti kabut tebal dan membingungkan. Setiap kali ditemukan jawaban atas satu persoalan selalu diikuti oleh pertanyaan lain yang lebih rumit dan menemui jalan buntu untuk memperoleh jawaban atas hakekat hidup manusia.

Suatu saat sekeluarnya dari hutan, San Ali bertemu dengan salah satu Brahmin tua yang sedang mempersembahkan sesaji di altar dewa. Terlintas di benaknya bahwa sangat mustahil arca dewa bisa makan sesaji yang disiapkan sang Brahmin. Namun terlintas pula di benaknya tentang ibadah qurban di dalam agama Islam. Bukankah Gusti Allah yang tak terpikirkan dan tak terjangkau panca indra itu sesungguhnya juga tidak membutuhkan darah dan daging domba ? Namun kenapa umat Islam setiap hari Raya Idhul Adha itu menyembelih domba ? Apa bedanya ibadah sang Brahmin tua tadi dengan ibadah umat Islam dalam hal persembahan ?

Dalam benak San Ali muda bergelayut tanda tanya yang tak ada habisnya : “ untuk menguak hakekat manusia saja sudah sedemikian sulitnya, bagaimana bisa aku mampu mengerti keberadaan Gusti Allah yang aku sembah “ ?

Tak jarang San Ali merenung malam hari di bawah pohon besar, sambil merenung dan menunggu datangnya kantuk dia menerawang jauh melihat bintang-bintang di atas langit. Benarkah ‘Arsy singgasana Allah terletak di salah satu bintang di langit itu ? Kalau Gusti Allah ada di langit itu, bagaimana aku bisa menemui DIA yang aku sembah selama ini ? Alangkah jauh jaraknya antara aku yang di bawah sini dengan DIA yang di atas sana.

San Ali teringat ajaran guru agungnya Syaikh Datuk Kahfi yang sangat keras melarangnya untuk membayang-bayangkan, membanding-bandingkan, dan memikirkan Gusti Allah. Bagaimana orang bisa mengenal Gusti Allah jika tidak boleh membayangkan, membandingkan apalagi memikirkan-Nya ?

Gumpalan awan hitam pekat yang lewat menutupi pandangannya seolah merupakan jawaban atas gejolak jiwanya dan angin malam yang berhembus semilir telah mengantarnya ke dalam buaian mimpi dengan segudang pertanyaan yang membutuhkan jawaban atas keberadaan Sang AKU.

Sebuah skenario atas diri anak manusia tengah dipersiapkan oleh sang Maha Pencipta.(Bersambung...)

Oleh : AGUS SUNYOTO.

1 komentar: