Pendahuluan
Sampai sekarang berita-berita masa lampau tentang seni pertunjukan Sunda masih samar-samar. Prasasti dan naskah-naskah kropak (lontar; nipah) di Sunda tidak ada yang memberitakan tentang seni pertunjukan secara lengkap, dan biasanya hanya terdapat gejalanya saja. Akan tetapi dengan melalui suatu kritik dan perbandingan maka gejala yang terdapat di dalamnya akan bisa menunjukkan kemungkinan terdapatnya keterkaitan dengan seni pertunjukan.
Berdasarkan naskah-naskah Sunda atau naskah lain yang berkaitan dengan Sunda, terdapat empat naskah yang dalam isinya menyebutkan suatu istilah seni pertunjukan atau secara singkat membicarakan keberadaan seni pertunjukan, yaitu naskah Carita Parahiyangan, Sewaka Darma, Bujangga Manik, dan Sanghyang Siksakandang Karesian. Naskah lainnya, Ratu Pakuan danDecadas da Asia, tidak secara langsung menyebutkan adanya suatu istilah atau peristiwa seni pertunjukan, tetapi kata atau kalimat yang terdapat di dalamnya, ada kemungkinan berkaitan dengan istilah yang ada dalam seni pertunjukan. Naskah Kidoeng Soenda (terjemahan dari bahasa Kawi)menyebutkan adanya suatu seni pertunjukan Sunda, tetapi penulis pertama (Kawi) dan tempat penulisannya tidak berada di tempat di mana wilayah kesenian tersebut berada, serta penulisannya dilakukan beberapa tahun setelah peristiwa yang diceritakan dalam naskah terjadi. Prasasti Batutulisdi Bogor tidak memberitakan adanya suatu seni pertunjukan secara langsung, tetapi dalam kata atau kalimatnya terdapat gejala adanya seni pertunjukan pada waktu itu. Tulisan-tulisan itulah yang sampai saat ini diketahui berkaitan dengan seni pertunjukan Sunda pada masa lampau.
Berdasarkan tahun penulisan, ciri huruf, dan isinya, ada empat naskah dan satu prasasti yang berasal dari zaman kerajaan Sunda ketika beribukota di Pakuan abad ke-16. Nama kerajaan pada zaman ini disebut Pajajaran atau Pakuan Pajajaran seperti tertulis dalam beberapa naskah dan prasasti, dan dalam catatan Portugis disebut kerajaan Sunda. Kajian yang terakhir dari ahli-ahli sejarah Sunda menyebutkan kerajaan Pajajaran dimulai ketika raja Sunda dipegang Sri Baduga Maharaja (seperti tercantum dalam prasasti Batutulis). Dia adalah di antara Prabu Siliwangi yang terkenal dalam tuturan masyarakat Sunda. Masa pemerintahannya, tahun 1482—1521, merupakan zaman keemasan kerajaan Pajajaran, kelanjutan kerajaan Sunda dari masa sebelumnya. Naskah-naskah yang berasal dari zaman Pajajaran ini adalah Bujangga Manik (sekitar akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an), Sanghyang Siksakandang Karesian (tahun 1518), dan Carita Parahiyangan(dari tahun 1527-an). Isi naskah Bujangga Manik merupakan catatan perjalanan penulisnya (Bujangga Manik)—dalam bentuk puisi—dari ibukota Pakuan ke tempat-tempat keagamaan di Pulau Jawa dan Bali. Pada bagian pertama Bujangga Manik menulis hal-hal nyata di dunia, yaitu mengenai perjalanan dirinya, tetapi pada akhir catatannya bersifat spiritual (kahyangan; akhirat) yang tidak bersifat duniawi. Sanghyang Siksakandang Karesian menggambarkan konsep keagamaan, kenegaraan, dan keseharian pada zamannya. Carita Parahiyangan dimulai dari zaman yang lebih tua dari penulisannya, yaitu dari masa kerajaan Galuh (abad ke-7). Pada awalnya bersifat dongeng, tetapi selanjutnya bersifat sejarah.
Satu naskah merupakan catatan Portugis pada peristiwa perjanjian dagang dengan kerajaan Sunda (Pajajaran) tanggal 21 Agustus 1522, yaitu Decadas da Asia yang ditulis Joao de Barros. Untukprasasti Batutulis, meskipun tafsir angka pembuatannya yang berbentuk candrasangkala berbeda-beda di antara ahli sejarah, namun berdasarkan kajian terakhir para ahli sejarah Sunda (Saleh Danasasmita di antaranya), candrasangkala prasasti ini mengandung angka tahun 1533 Masehi, dibuat oleh Prabu Surawisesa (1521—1535), anak dan pengganti Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Prasasti ini dibuat untuk peringatan atau mengenang (sakakala) kebesaran ayahnya yang menjadikan Pajajaran mencapai masa keemasan.
Sewaka Darma, berdasarkan hurufnya berasal dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18, tetapi isinya sangat tua, paling tidak dari abad ke-15. Oleh karena itu mungkin naskah ini merupakan naskah salinan. Ratu Pakuan sama berasal dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18, dengan isi cerita menggambarkan akhir abad ke-15. Naskah ini menggambarkan iring-iringan perpindahan Ratu Pakuan (Siliwangi) beserta permaisuri Ngabetkasih (Ambetkasih) dan madu-madunya dari keraton Galuh menuju keraton Pakuan karena dia menjadi raja di sana.
Naskah Kidoeng Soenda “meunang njalin tina basa Kawi” (hasil terjemahan dari bahasa Kawi) tahun 1878. Mungkin naskah ini yang dimaksud terjemahan Tubagus Djajadilaga seperti dicatat Salmun (1958). Kidung Sunda (Kawi) aslinya ditulis oleh orang Bali yang menyaksikan atau mendengar peristiwa di Bubat, Majapahit, tahun 1357. Pada zaman ini ibukota Sunda berada di Kawali. Karena belum mendapatkan copynya, maka selain Kidoeng Soenda Tubagus Djajadilaga, sebagai bahan perbandingan dipakai naskah lain yang berisi sama, yaitu naskah Gaguritan Sundayang ditraskripsi dari aksara Bali oleh I Wayan Sutedja, berasal dari babon milik Ida Bagus Kade, biasa dibaca dan dinyanyikan di Geria Pasekan, Tabanan, Bali. Selain itu, dalam tulisan ini disertakan juga nama-nama instrumen dari Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (Kidung Sunda cersi C) asli berbahasa Kawi yang telah diterjemahkan C.C. Berg (Kunst, 1968).
Tulisan ini tidak atau belum melihat terhadap gejala seni pertunjukan Sunda menurut berita lisan kesenian pantun (yang dianggap merupakan kesenian Sunda yang sangat kuna keberadaannya, minimal sejak zaman kerajaan Pajajaran abad ke-16), dikarenakan kesenian tersebut dituturkan secara lisan oleh senimannya pada setiap zaman yang berbeda, sehingga besar sekali kemungkinan adanya korup dan penambahan kata, kalimat, isi, dan data, akibat pengetahuan dan situasi zaman yang mempengaruhi seniman penuturnya. Demikian pula dengan kesenian-kesenian lain yang sekarang masih hidup dan telah lama keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Sunda, baik yang masih berfungsi dalam konteks aslinya maupun telah bergeser, misalnya angklung, tarawangsa, calung, ronggeng (gunung), degung, goong gede, goong renteng, dan sebagainya. Seni pertunjukan tersebut menyimpan berbagai data mengenai berbagai pandangan hidup dan kehidupan manusia Sunda dari berbagai zaman, yang sangat penting untuk dilakukan pada kajian selanjutnya. Untuk memakai seni pertunjukan yang masih hidup seperti itu sebagai artefak hidup sumber data seni pertunjukan masa lampau, diperlukan suatu kritik dari bererapa sudut pandang.
A. Carita Parahiyangan
Naskah ini berasal dari abad ke-16, ditemukan di Galuh (kabupaten Ciamis sekarang). Naskah ini memberitakan adanya kegiatan musik (karawitan) dan tari seperti dapat diperhatikan kutipan dari bagian VI berikut ini:
Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa parungon, tatabeuhan di Galuh. Pulang ka Galuh teter nu ngigel.
Sadatang ka buruan ageung, tjarek Rahijangtang Mandiminjak: “Sang apatih, na saha eta?”
“Bedjana nu ngigel di buruan ageung”
(Mendengar [terdengar] tabuh-tabuhan bergemuruh memekakkan telinga, tabuh-tabuhan di Galuh. Pergi ke Galuh [di sana] banyak yang menari.
Setibanya di buruan ageung, Rahijangtang Mandiminjak berkata: “Sang apatih, siapakah mereka?”
“Katanya orang-orang yang menari di buruan ageung”).
(Atja, 1968:18 & 44).