Rabu, 08 Februari 2012

SENI PERTUNJUKAN SUNDA DALAM NASKAH KUNA


Pendahuluan

Sampai sekarang berita-berita masa lampau tentang seni pertunjukan Sunda masih samar-samar. Prasasti dan naskah-naskah kropak (lontar; nipah) di Sunda tidak ada yang memberitakan tentang seni pertunjukan secara lengkap, dan biasanya hanya terdapat gejalanya saja. Akan tetapi dengan melalui suatu kritik dan perbandingan maka gejala yang terdapat di dalamnya akan bisa menunjukkan kemungkinan terdapatnya keterkaitan dengan seni pertunjukan.
Berdasarkan naskah-naskah Sunda atau naskah lain yang berkaitan dengan Sunda, terdapat empat naskah yang dalam isinya menyebutkan suatu istilah seni pertunjukan atau secara singkat membicarakan keberadaan seni pertunjukan, yaitu naskah Carita Parahiyangan, Sewaka Darma, Bujangga Manik, dan Sanghyang Siksakandang Karesian. Naskah lainnya, Ratu Pakuan danDecadas da Asia, tidak secara langsung menyebutkan adanya suatu istilah atau peristiwa seni pertunjukan, tetapi kata atau kalimat yang terdapat di dalamnya, ada kemungkinan berkaitan dengan istilah yang ada dalam seni pertunjukan. Naskah Kidoeng Soenda (terjemahan dari bahasa Kawi)menyebutkan adanya suatu seni pertunjukan Sunda, tetapi penulis pertama (Kawi) dan tempat penulisannya tidak berada di tempat di mana wilayah kesenian tersebut berada, serta penulisannya dilakukan beberapa tahun setelah peristiwa yang diceritakan dalam naskah terjadi. Prasasti Batutulisdi Bogor tidak memberitakan adanya suatu seni pertunjukan secara langsung, tetapi dalam kata atau kalimatnya terdapat gejala adanya seni pertunjukan pada waktu itu. Tulisan-tulisan itulah yang sampai saat ini diketahui berkaitan dengan seni pertunjukan Sunda pada masa lampau.
Berdasarkan tahun penulisan, ciri huruf, dan isinya, ada empat naskah dan satu prasasti yang berasal dari zaman kerajaan Sunda ketika beribukota di Pakuan abad ke-16. Nama kerajaan pada zaman ini disebut Pajajaran atau Pakuan Pajajaran seperti tertulis dalam beberapa naskah dan prasasti, dan dalam catatan Portugis disebut kerajaan Sunda. Kajian yang terakhir dari ahli-ahli sejarah Sunda menyebutkan kerajaan Pajajaran dimulai ketika raja Sunda dipegang Sri Baduga Maharaja (seperti tercantum dalam prasasti Batutulis). Dia adalah di antara Prabu Siliwangi yang terkenal dalam tuturan masyarakat Sunda. Masa pemerintahannya, tahun 1482—1521, merupakan zaman keemasan kerajaan Pajajaran, kelanjutan kerajaan Sunda dari masa sebelumnya. Naskah-naskah yang berasal dari zaman Pajajaran ini adalah Bujangga Manik (sekitar akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an), Sanghyang Siksakandang Karesian (tahun 1518), dan Carita Parahiyangan(dari tahun 1527-an). Isi naskah Bujangga Manik merupakan catatan perjalanan penulisnya (Bujangga Manik)—dalam bentuk puisi—dari ibukota Pakuan ke tempat-tempat keagamaan di Pulau Jawa dan Bali. Pada bagian pertama Bujangga Manik menulis hal-hal nyata di dunia, yaitu mengenai perjalanan dirinya, tetapi pada akhir catatannya bersifat spiritual (kahyangan; akhirat) yang tidak bersifat duniawi. Sanghyang Siksakandang Karesian menggambarkan konsep keagamaan, kenegaraan, dan keseharian pada zamannya. Carita Parahiyangan dimulai dari zaman yang lebih tua dari penulisannya, yaitu dari masa kerajaan Galuh (abad ke-7). Pada awalnya bersifat dongeng, tetapi selanjutnya bersifat sejarah.
Satu naskah merupakan catatan Portugis pada peristiwa perjanjian dagang dengan kerajaan Sunda (Pajajaran) tanggal 21 Agustus 1522, yaitu Decadas da Asia yang ditulis Joao de Barros. Untukprasasti Batutulis, meskipun tafsir angka pembuatannya yang berbentuk candrasangkala berbeda-beda di antara ahli sejarah, namun berdasarkan kajian terakhir para ahli sejarah Sunda (Saleh Danasasmita di antaranya), candrasangkala prasasti ini mengandung angka tahun 1533 Masehi, dibuat oleh Prabu Surawisesa (1521—1535), anak dan pengganti Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi). Prasasti ini dibuat untuk peringatan atau mengenang (sakakala) kebesaran ayahnya yang menjadikan Pajajaran mencapai masa keemasan.
Sewaka Darma, berdasarkan hurufnya berasal dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18, tetapi isinya sangat tua, paling tidak dari abad ke-15. Oleh karena itu mungkin naskah ini merupakan naskah salinan. Ratu Pakuan sama berasal dari akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18, dengan isi cerita menggambarkan akhir abad ke-15. Naskah ini menggambarkan iring-iringan perpindahan Ratu Pakuan (Siliwangi) beserta permaisuri Ngabetkasih (Ambetkasih) dan madu-madunya dari keraton Galuh menuju keraton Pakuan karena dia menjadi raja di sana.
Naskah Kidoeng Soenda “meunang njalin tina basa Kawi” (hasil terjemahan dari bahasa Kawi) tahun 1878. Mungkin naskah ini yang dimaksud terjemahan Tubagus Djajadilaga seperti dicatat Salmun (1958). Kidung Sunda (Kawi) aslinya ditulis oleh orang Bali yang menyaksikan atau mendengar peristiwa di Bubat, Majapahit, tahun 1357. Pada zaman ini ibukota Sunda berada di Kawali. Karena belum mendapatkan copynya, maka selain Kidoeng Soenda Tubagus Djajadilaga, sebagai bahan perbandingan dipakai naskah lain yang berisi sama, yaitu naskah Gaguritan Sundayang ditraskripsi dari aksara Bali oleh I Wayan Sutedja, berasal dari babon milik Ida Bagus Kade, biasa dibaca dan dinyanyikan di Geria Pasekan, Tabanan, Bali. Selain itu, dalam tulisan ini disertakan juga nama-nama instrumen dari Kidung Sunda dan Kidung Sundayana (Kidung Sunda cersi C) asli berbahasa Kawi yang telah diterjemahkan C.C. Berg (Kunst, 1968).
Tulisan ini tidak atau belum melihat terhadap gejala seni pertunjukan Sunda menurut berita lisan kesenian pantun (yang dianggap merupakan kesenian Sunda yang sangat kuna keberadaannya, minimal sejak zaman kerajaan Pajajaran abad ke-16), dikarenakan kesenian tersebut dituturkan secara lisan oleh senimannya pada setiap zaman yang berbeda, sehingga besar sekali kemungkinan adanya korup dan penambahan kata, kalimat, isi, dan data, akibat pengetahuan dan situasi zaman yang mempengaruhi seniman penuturnya. Demikian pula dengan kesenian-kesenian lain yang sekarang masih hidup dan telah lama keberadaannya dalam kehidupan masyarakat Sunda, baik yang masih berfungsi dalam konteks aslinya maupun telah bergeser, misalnya angklung, tarawangsa, calung, ronggeng (gunung), degung, goong gede, goong renteng, dan sebagainya. Seni pertunjukan tersebut menyimpan berbagai data mengenai berbagai pandangan hidup dan kehidupan manusia Sunda dari berbagai zaman, yang sangat penting untuk dilakukan pada kajian selanjutnya. Untuk memakai seni pertunjukan yang masih hidup seperti itu sebagai artefak hidup sumber data seni pertunjukan masa lampau, diperlukan suatu kritik dari bererapa sudut pandang.

A. Carita Parahiyangan

Naskah ini berasal dari abad ke-16, ditemukan di Galuh (kabupaten Ciamis sekarang). Naskah ini memberitakan adanya kegiatan musik (karawitan) dan tari seperti dapat diperhatikan kutipan dari bagian VI berikut ini:

Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa parungon, tatabeuhan di Galuh. Pulang ka Galuh teter nu ngigel.
Sadatang ka buruan ageung, tjarek Rahijangtang Mandiminjak: “Sang apatih, na saha eta?”
Bedjana nu ngigel di buruan ageung”

(Mendengar [terdengar] tabuh-tabuhan bergemuruh memekakkan telinga, tabuh-tabuhan di Galuh. Pergi ke Galuh [di sana] banyak yang menari.
Setibanya di buruan ageung, Rahijangtang Mandiminjak berkata: “Sang apatih, siapakah mereka?”
“Katanya orang-orang yang menari di buruan ageung”).
(Atja, 1968:18 & 44).

Rabu, 25 Januari 2012

SYEKH JABALRANTAS


Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu. 
Selama ini silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran beliau yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk mengubur segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali. 
Kemudian dikenal sebagai Syekh Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh Isa ˜Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ˜Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ˜Abdul Malikal-Qazam. Maulana Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh Abdul Malik atau Asamat Khan.
Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut.
Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.Syekh Abdul Malik adalah putra Syekh Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-˜Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.
Syekh Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Imam Husain bin ˜Ali bin Abi Thalib as, menantu Rasulullah Saww. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.

Adapun Syekh Maulana Isa atau Syekh Datuk Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa memiliki dua orang putra yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama asal Malaka yang kemudian menetap di Caruban karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabalrantas dan Syekh Abdul Jalil.

MASDJID AGOENG TE CHERIBON


artikel ini saya temukan di IBT LOCALE TECHNIEK [indisch bouwkundig tijdschrift locale techniek] edisi pertama bulan januari 1936. tulisan ini saya anggap menarik karena adalah tulisan pertama [sejauh saya tahu sampai hari ini] orang pribumi -abikoesno- dalam jurnal tadi. sebelumnya, abikoesno dalam jurnal tadi adalah salah satu penerjemah artikel-artikel dan berita, dari bahasa belanda ke bahasa melayu. tulisan beliau ini pun disajikan dalam bahasa belanda dan diberi ringkasan dalam bahasa melayu oleh beliau sendiri. artikel ini menyajikan 5 buah foto dan sebuah peta. saya kutipkan keterangan foto/peta berikut ini.

PEMBERONTAKAN CIREBON 1818




Menindak lanjuti tulisan saya tanggal 4 Oktober 2010 tentang Sejarah Buyut Arsitem, saya mulai tertarik dengan kisah pemberontakan atau perjuangan yang dikomandoi oleh Ki Bagus Rangin . Cerita yang ditulis oleh P.H Van der Kemp yang merupakan catatan asli pelaku sejarah dituangkan dalam buku dengan judul : “De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken” dan berikut saya cuplikan sinopsis buku tersebut yang diambil dari http://ikatanpemudadayakkabupatenmelawi.blogspot.com/

Penulis :
Buku ini berjudul asli “De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken” yang ditulis oleh P. H Van der Kemp. Sebenarnya buku ini merupakan catatan-catatan asli dari P. H. Van Kemp yang ikut menumpas pemberontakan di Cirebon. Pada tahun 1979, buku tersebut diterjemahkan oleh B. Panjaitan dengan judul “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818” dan diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Idayu.

Metode Penulisan :
Deskriptif naratif, dimana pada buku yang berjudul Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 ini, P. H. Van Der Kemp mendeskripsikan keadaan Cirebon pada masa pemberontakan tahun 1818. Dalam buku ini juga dideskripsikan sebab-sebab pemberontakan, cara mengatasi pemberontakan dan akhir dari pemberontakan tersebut.

Corak Penulisan :
Eropasentris atau Neerlandosentris, dimana dalam buku ini berisi tentang kejadian yang terjadi Indonesia menurut sudut pandang Eropa yang berada di Indonesia. Dalam buku ini, P. H. Van der Kemp menganggap bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh golongan pribumi akan mengganggu kekuasaan Belanda di Cirebon. Oleh sebab itu, Van der Kemp menumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut.

Selasa, 24 Januari 2012

Sejarah Indramayu dari Kacamata Asing


Tanggal 7 Oktober 1527 merupakan hari jadi Indramayu versi Pemkab Indramayu sesuai Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Pengambilan tanggal tersebut merupakan rangkaian dari penetapan buku “Sejarah Indramayu”. Buku itu disusun Tim Penelitian Sejarah Indramayu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 44/47/Ass.V/Huk/76 tanggal 13 September 1976. Meski dinilai kontroversial, hingga kini putusan tersebut masih digunakan.



Terlepas dari kontroversi tersebut, cukup menarik untuk menelusuri penemuan bangsa asing teradap wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Indramayu tersebut. Ternyata pada abad ke-15 diketemukan penggambaran tentang Indramayu berdasarkan berita yang ditulis orang Cina dan Portugis. Nama yang dikenal adalah Cimanuk.

Lidah orang Cina menyebut daerah tersebut sebagai Tanjung Ciao-c’iang-wan, seperti berita yang ditulis dalam buku Shun-feng siang-sung (Angin Baik sebagai Pendamping) sekitar tahun 1430. Tanjung Ciao-c’iang-wan, diartikan sekarang sebagai tanjung di Indramayu.

Sisi Gelap & Sisi Terang SEJARAH INDRAMAYU


Pengungkapan sejarah suatu daerah, salah satunya, adalah melalui penelisikan naskah-naskah yang diketemukan. Hasil dari perburuan untuk mengumpulkan naskah-naskah yang berkaitan dengan Indramayu, setidak-tidaknya telah menemukan gambaran, wujud, dan kronologi sejarah Indramayu dalam berbagai dimensi. Ada yang berupa sepenggal kalimat, sebentuk paragraf, sepotong catatan, naskah atau buku yang berkaitan dengan Indramayu dalam berbagai zaman. Ada yang berasal dari catatan asing (Portugis dan Cina), naskah tradisional (Babad Dermayu dan Naskah Wangsakerta) maupun buku yang ditulis di era sekarang.

 Ada tiga naskah atau buku yang lengkap, tidak sepotong-potong, yang menggambarkan ”sejarah Indramayu”. Ketiganya selama ini senantiasa menjadi referensi masyarakat dan pemerintah tentang kronologi sejarah Indramayu. Ketiga naskah atau buku itu adalah naskah Babad Dermayu (Babad Carbon 2) yang penulisnya tidak dikenal pada tahun 1900 (transliterasi dan terjemahan tahun 2008 oleh Ruhaliah, anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat, kerjasama dengan Balai Pengelolaan Museum Sri Baduga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, selanjutnya disebut Babad Dermayu 1900/BD 1900), buku Sejarah Indramayu  tulisan H.A. Dasuki, dkk., 1977 (selanjutnya ditulis SI 1977), dan buku Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari tulisan H.R. Sutadji K.S., 2003 (selanjutnya disebut DPDAN 2023).
Meski tercatat ada tiga naskah atau buku tentang sejarah Indramayu, sesungguhnya hanya satu sumber, yaitu dari sumber Babad Dermayu. Naskah tersebut juga, sebenarnya, tidak hanya satu versi. Naskah yang ditransliterasi dan diterjemahan Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat adalah salah satu versi di antara versi-versi lain Babad Dermayu, yang ditulis dalam kurun waktu berbeda. Naskah tersebut ditulis tahun 1900 dalam aksara Cacarakan Jawa dan bahasa Jawa-Cirebon. Naskah babad Dermayu lain, dengan kisah yang tidak jauh berbeda, konon ada yang ditulis jauh sebelum kurun waktu tersebut.

WANGSIT PRABU SILIWANGI

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : 


“Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!