Rabu, 25 Januari 2012

SYEKH JABALRANTAS


Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban Larang waktu itu. 
Selama ini silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah. Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran beliau yang dilakukan oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa merasa perlu untuk mengubur segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali. 
Kemudian dikenal sebagai Syekh Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh Isa ˜Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ˜Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ˜Abdul Malikal-Qazam. Maulana Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh Abdul Malik atau Asamat Khan.
Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut.
Qazam adalah sebuah distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.Syekh Abdul Malik adalah putra Syekh Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-˜Alawi, yg semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam.
Syekh Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Imam Husain bin ˜Ali bin Abi Thalib as, menantu Rasulullah Saww. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.

Adapun Syekh Maulana Isa atau Syekh Datuk Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana Isa memiliki dua orang putra yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama asal Malaka yang kemudian menetap di Caruban karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabalrantas dan Syekh Abdul Jalil.

MASDJID AGOENG TE CHERIBON


artikel ini saya temukan di IBT LOCALE TECHNIEK [indisch bouwkundig tijdschrift locale techniek] edisi pertama bulan januari 1936. tulisan ini saya anggap menarik karena adalah tulisan pertama [sejauh saya tahu sampai hari ini] orang pribumi -abikoesno- dalam jurnal tadi. sebelumnya, abikoesno dalam jurnal tadi adalah salah satu penerjemah artikel-artikel dan berita, dari bahasa belanda ke bahasa melayu. tulisan beliau ini pun disajikan dalam bahasa belanda dan diberi ringkasan dalam bahasa melayu oleh beliau sendiri. artikel ini menyajikan 5 buah foto dan sebuah peta. saya kutipkan keterangan foto/peta berikut ini.

PEMBERONTAKAN CIREBON 1818




Menindak lanjuti tulisan saya tanggal 4 Oktober 2010 tentang Sejarah Buyut Arsitem, saya mulai tertarik dengan kisah pemberontakan atau perjuangan yang dikomandoi oleh Ki Bagus Rangin . Cerita yang ditulis oleh P.H Van der Kemp yang merupakan catatan asli pelaku sejarah dituangkan dalam buku dengan judul : “De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken” dan berikut saya cuplikan sinopsis buku tersebut yang diambil dari http://ikatanpemudadayakkabupatenmelawi.blogspot.com/

Penulis :
Buku ini berjudul asli “De Cheribonsche Ounlsten van 1818, Naar Oorpronkelijke Stukken” yang ditulis oleh P. H Van der Kemp. Sebenarnya buku ini merupakan catatan-catatan asli dari P. H. Van Kemp yang ikut menumpas pemberontakan di Cirebon. Pada tahun 1979, buku tersebut diterjemahkan oleh B. Panjaitan dengan judul “Pemberontakan Cirebon Tahun 1818” dan diterbitkan di Jakarta oleh Yayasan Idayu.

Metode Penulisan :
Deskriptif naratif, dimana pada buku yang berjudul Pemberontakan Cirebon Tahun 1818 ini, P. H. Van Der Kemp mendeskripsikan keadaan Cirebon pada masa pemberontakan tahun 1818. Dalam buku ini juga dideskripsikan sebab-sebab pemberontakan, cara mengatasi pemberontakan dan akhir dari pemberontakan tersebut.

Corak Penulisan :
Eropasentris atau Neerlandosentris, dimana dalam buku ini berisi tentang kejadian yang terjadi Indonesia menurut sudut pandang Eropa yang berada di Indonesia. Dalam buku ini, P. H. Van der Kemp menganggap bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh golongan pribumi akan mengganggu kekuasaan Belanda di Cirebon. Oleh sebab itu, Van der Kemp menumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut.

Selasa, 24 Januari 2012

Sejarah Indramayu dari Kacamata Asing


Tanggal 7 Oktober 1527 merupakan hari jadi Indramayu versi Pemkab Indramayu sesuai Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Pengambilan tanggal tersebut merupakan rangkaian dari penetapan buku “Sejarah Indramayu”. Buku itu disusun Tim Penelitian Sejarah Indramayu berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 44/47/Ass.V/Huk/76 tanggal 13 September 1976. Meski dinilai kontroversial, hingga kini putusan tersebut masih digunakan.



Terlepas dari kontroversi tersebut, cukup menarik untuk menelusuri penemuan bangsa asing teradap wilayah yang sekarang bernama Kabupaten Indramayu tersebut. Ternyata pada abad ke-15 diketemukan penggambaran tentang Indramayu berdasarkan berita yang ditulis orang Cina dan Portugis. Nama yang dikenal adalah Cimanuk.

Lidah orang Cina menyebut daerah tersebut sebagai Tanjung Ciao-c’iang-wan, seperti berita yang ditulis dalam buku Shun-feng siang-sung (Angin Baik sebagai Pendamping) sekitar tahun 1430. Tanjung Ciao-c’iang-wan, diartikan sekarang sebagai tanjung di Indramayu.

Sisi Gelap & Sisi Terang SEJARAH INDRAMAYU


Pengungkapan sejarah suatu daerah, salah satunya, adalah melalui penelisikan naskah-naskah yang diketemukan. Hasil dari perburuan untuk mengumpulkan naskah-naskah yang berkaitan dengan Indramayu, setidak-tidaknya telah menemukan gambaran, wujud, dan kronologi sejarah Indramayu dalam berbagai dimensi. Ada yang berupa sepenggal kalimat, sebentuk paragraf, sepotong catatan, naskah atau buku yang berkaitan dengan Indramayu dalam berbagai zaman. Ada yang berasal dari catatan asing (Portugis dan Cina), naskah tradisional (Babad Dermayu dan Naskah Wangsakerta) maupun buku yang ditulis di era sekarang.

 Ada tiga naskah atau buku yang lengkap, tidak sepotong-potong, yang menggambarkan ”sejarah Indramayu”. Ketiganya selama ini senantiasa menjadi referensi masyarakat dan pemerintah tentang kronologi sejarah Indramayu. Ketiga naskah atau buku itu adalah naskah Babad Dermayu (Babad Carbon 2) yang penulisnya tidak dikenal pada tahun 1900 (transliterasi dan terjemahan tahun 2008 oleh Ruhaliah, anggota Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat, kerjasama dengan Balai Pengelolaan Museum Sri Baduga Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, selanjutnya disebut Babad Dermayu 1900/BD 1900), buku Sejarah Indramayu  tulisan H.A. Dasuki, dkk., 1977 (selanjutnya ditulis SI 1977), dan buku Dwitunggal Pendiri Darma Ayu Nagari tulisan H.R. Sutadji K.S., 2003 (selanjutnya disebut DPDAN 2023).
Meski tercatat ada tiga naskah atau buku tentang sejarah Indramayu, sesungguhnya hanya satu sumber, yaitu dari sumber Babad Dermayu. Naskah tersebut juga, sebenarnya, tidak hanya satu versi. Naskah yang ditransliterasi dan diterjemahan Masyarakat Pernaskahan Nusantara Cabang Bandung Jawa Barat adalah salah satu versi di antara versi-versi lain Babad Dermayu, yang ditulis dalam kurun waktu berbeda. Naskah tersebut ditulis tahun 1900 dalam aksara Cacarakan Jawa dan bahasa Jawa-Cirebon. Naskah babad Dermayu lain, dengan kisah yang tidak jauh berbeda, konon ada yang ditulis jauh sebelum kurun waktu tersebut.

WANGSIT PRABU SILIWANGI

Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang : 


“Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak.”

Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon!

Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak!

Suluk Abdul Jalil "Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar" (1&2)



Kisah ini dimulai ketika Raden Ketib, seorang putra dari Pangeran Surodirejo Adipati Palembang , menimba ilmu sebagai santri di Giri Amparan Jati yang terletak di lereng gunung Sembung di tlatah Kasunanan Cirebon Girang.
Sebagai salah satu pesantren yang ada di Nusa Jawa ini, Giri Amparan Jati juga tak luput dari prahara yang melanda kaum muslim yaitu antara pengikut Syaikh Siti Jenar (Syaikh Lemah Abang ) yang disebut sebagai "Islam Abangan" dengan para santri Islam fundamentalis yang disebut "Islam Putihan".
Perseteruan dua kelompok ini telah menimbulkan banyak korban jiwa, iblis telah menebarkan prahara di bumi dan darah terbanyak yang membasahi bumi adalah di pihak santri abangan yang di anggap telah keluar dari jalur Islami akibat ajaran sang wali yang dianggap sesat dengan mengajarkan ajaran "Manunggaling Kawula Gusti"
Giri Amparan Jati pada saat itu (paro pertama abad 16) menerapkan aturan sangat keras yaitu melarang para santrinya untuk membicarakan perihal Syaikh Siti Jenar, apalagi mengenai ajarannya. Karena yang menetapkan larangan adalah Syaikh Maulana Jati, Syarif Hidayatullah, pengasuh pesantren dan sekaligus juga Susuhunan Cirebon Girang maka peraturan itu harus ditaati oleh semua santri tanpa terkecuali.
Sebagai seorang santri yang berusia 16 tahun dan punya bakat yang pintar dan kritis, Raden Ketib saat itu menyadari ada sesuatu yang ditutup-tutupi dan ada ketidak wajaran tentang aturan yang satu itu.

TOKOH PANAKAWAN WAYANG CIREBON (1)





Lumping (wayang kulit) Cirebon mengenal banyak tokoh dan banyak perbedaan disbanding dengan Wayang kulit Jawa Tengah, terutama perbedaan tokoh panakawan. Diduga setelah penguasaan oleh Mataram pada paruh kedua abad 17, ternyata wayang Cirebon tidak terpengaruh oleh perubahan penguasaan Mataram di Jawa Barat.  Begitu pula dengan wayang golek Cirebon. Banyaknya lakon dan wayang merupakan sumber yang kaya untuk pengetahuan yang dianggap bersejarah di darah Cirebon dan Sumedang. 
Generasi tua di Cirebon menjunjung tinggi hal-hal tradisional serta legenda, sehingga legenda itu tetap hidup. Di Kaliwedi , Arjawinangun, terdapat mitos, adanya dua buah wayang yang dibungkus dengan beberapa lembar kain putih; yang satu dikenal dengan Semar, yang satu lagi “hanya dikenal sebagai teman Semar”. Setelah petani menebarkan benih padi di sawah, maka pada malam Jum’at Kliwon, mereka akan datang menyambangi wayang ini, dengan membawa air untuk diberkati, sebagai syarat keberhasilan usaha tani nya, dan berharap panennya baik. 

Senin, 23 Januari 2012

MACAN ALI



Bendera MACAN ALI dari Kerajaan Cirebon


Panji ini dibawa tentara Cirebon ketika menaklukan Sunda Kelapa pada 1527 M dibawah pimpinan Fadillah Khan.Terdapat tulisan “bismillah” dalam panji tersebut dan ayat-ayat al-Quran untuk menunjukan keagungan Allah Swt. 
  1. Dua bintang yang mengandung 8 sisi, yang melambangkan Muhammad dan Fatimah. 
  2. Diantara “bismillah” dan dua bintang terdapat dua gambar singa kecil dan besar dan pedang bercabang dua yang melambangkan pedang Zulfikar milik Imam Ali. 
  3. Setelah Zulfikar terlihat singa besar, yaitulah Asadullah, alias singa Tuhan. Di dalam bahasa Indonesia singa Ali diterjemahkan dengan “macan Ali”. 
  4. Di dalam panji, ini tergambar lima orang manusia suci sebagai sumber petunjuk dan hidayah. Raja-raja Islam Jawa sangat menyakini hakikat nur Muhammad sehingga dalam setiap peperangan selalu mengharapkan keberkahan. Karena itu logo-logo Ahlulbait as selalu tampak dalam setiap Bendera raja-raja Cirebon. 
Panji kebesaran Macan Ali ini dibawa saat menyerang sunda kelapa.

Pasukan Demak yang dipimpin ulama kharismatik Tu Bagus Pasei atau Fadillah Khan (Fatahillah atau Faletehan) beserta Pasukan Cirebon yang terdiri dari Angkatan Laut Sarwajala dipimpin oleh pendekar Ki Ageng Bungko, Angkatan Darat Yudha Laga dipimpin oleh Pangeran Cirebon, dan pasukan khusus Singa Bharwang Jalalullah yang terdiri dari para pendekar harimau dipimpin oleh Adipati Cangkuang, serta sepasukan pendekar cadangan yang dipimpin oleh Adipati Keling, kemudian berangkat ke Sunda Kalapa dengan menaiki perahu Bantaleo dengan panji kebesaran kerajaan Cirebon Macan Ali, dan panji kerajaan Demak yang bergambar pedang menyilang bertuliskan kalimat syahadat dipimpin oleh Patih Yudhanagara. 

SURYA MAJAPAHIT


Surya Majapahit adalah lambang yang biasa ditemukan di bangunan bangunan candi peninggalan majapahit. Lambang ini mengambil bentuk matahari bersudut delapan dengan bagian lingkaran di tengah menampilkan dewa-dewa Hindu. lambang ini membentuk diagram kosmologi yang disinari jurai matahari khas "Surya Majapahit", atau lingkaran matahari dengan bentuk jurai sinar yang khas.Surya Majapahit terdiri dari gambar sembilan dewa dan delapan berkas cahaya matahari. Lingkaran di tengah menampilkan sembilan dewa Hindu yang disebut Dewata Nawa Sanga. Dewa-dewa utama di bagian tengah ini diatur dalam posisi delapan arah mata angin dan satu di tengah.
Tengah: Siwa
Timur: Iswara
Barat: Mahadewa
Utara: Wishnu
Selatan: Brahma
Timur laut: Sambhu
Barat laut: Sangkara
Tenggara: Mahesora
Barat daya: Rudra

Dewa-dewa pendamping lainnya terletak pada lingkaran luar matahari dan dilambangkan sebagai delapan jurai sinar matahari:
Timur: Indra
Barat: Baruna
Utara: Kuwera
Selatan: Yama
Timur laut: Isana
Barat laut: Bayu
Tenggara: Agni
Barat daya: Nrtti


Minggu, 22 Januari 2012

DANGHYANG SEMAR DAN AJARAN KAPITAYAN



Jauh sebelum Islam masuk, di Nusantara terdapat agama kuno yang disebut Kapitayan yang secara keliru dipandang sejarawan Belanda sebagai Animisme dan Dinamisme yaitu agama yang memuja sesembahan utama yang disebut Sanghyang Taya, yang bermakna Hampa atau Kosong atau Suwung atau Awang-uwung. Sesuatu Yang Absolut yang tidak bisa dipikir dan dibayang-bayangkan. Tidak bisa didekati dengan pancaindera. Orang Jawa mendefinisikan Sanghyang Taya dalam satu kalimat “ tan kena kinaya ngapa” alias tidak bisa diapa-apakan keberadaan-Nya. Untuk itu, supaya bisa disembah Sanghyang Taya mempribadi dalam nama dan sifat yang disebut TU atau TO, yang bermakna ‘daya gaib’ yang bersifat adikodrati.

TU atau TO adalah tunggal dalam Dzat. Satu Pribadi. TU lazim disebut dengan nama Sanghyang Tunggal. Dia memiliki dua sifat, yaitu Kebaikan dan Kejahatan. TU yang bersifat Kebaikan disebut TU-han disebut dengan nama Sanghyang Wenang. TU yang bersifat Kejahatan disebut dengan nama Sang Manikmaya. Demikianlah, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya pada hakikatnya adalah sifat saja dari Sanghyang Tunggal. Karena itu baik Sanghyang Tunggal, Sanghyang Wenang dan Sang Manikmaya bersifat gaib tidak dapat didekati dengan pancaindera dan akal pikiran. Hanya diketahui sifat-Nya saja.

UNDAK USUK BASA WARISAN FEODAL



Masyarakat Sunda pada masa sebelum perang bukan saja terkotak-kotak menurut kedudukannya secara sosial, melainkan juga dipisahkan oleh pemakaian bahasa yang berkelas-kelas dengan aturan 'undak usuk basa'. 

Pemimpin yang berasal dari suku lain bisa berhadapan sama tinggi dengan para pejabat pribumi seperti bupati dan para pembantunya, mereka bisa berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa Belanda yang demokratis karena tidak mengenal tingkat-tingkat bahasa, sedang pemimpin orang Sunda kalau berhadapan dengan bupati ( Kanjeng Dalem ) pada waktu itu harus berbicara dengan bahasa Sunda yang memaksanya menempatkan diri sebagai ' abdi dalem' yang berbicara dengan 'dampal dalem' serta harus cermat menggunakan kata-kata sesuai dengan aturan 'undak usuk'. 
Kalau dia sampai melakukan kesalahan dalam memenuhi aturan undak usuk, dia akan langsung mendapat hukuman sosial, antaranya ditertawakan sebagai orang yang tak tahu sopan santun, bukan orang sekolahan, orang kampung dan sebagainya.

Syeh Magelung Sakti


Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karangkendal. Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.
Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).


Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya, kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari siapa yang sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia berhasil menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya. Hingga akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.
Pada sekitar abad XV di Karangkendal hidup seorang yang bernama Ki Tarsiman atau Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya bernama Nyi Sekar. Diduga, mereka itulah orang tua angkat Syarif Syam di Cirebon.

WASIAT SUNAN GUNUNG JATI



Petatah-Petitih yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:
Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku—SGD—titip tajug dan fakir miskin.
Yen sembahyang kungsi pucuke pnah (jika salat harus khusu dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti tali gondewa).
...Ibadah kang tetap (ibadah itu harus terus menerus)
Manah den syukur ing Allah (hati harus bersyuklur kepada Allah)
Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).

Paksi Naga Liman



Konsep raja atau sultan sebagai penguasa dan pengayom bagi semesta alam di Cirebon diwujudkan dalam Kereta Paksi Naga Liman. Sebuah kereta yang sangat indah menyerupai kembarannya Kereta Singa Barong. Karya agung Panembahan Losari atau Pangeran Manis yang dikerjakan oleh Ki Natagana alias Ki Gede Kaliwulu ini merupakan gabungan tiga hewan, paksi, naga dan liman. Paksi atau burung melambangkan alam atas atau langit. Naga menjadi lambang kekuatan alam bawah atau air. Sedangakan Liman atau gajah melambangkan alam tengah atau bumi. Belalai gajah yang erat melibat trisula membawa pesan bahwa raja/sultan harus memiliki cipta, rasa dan karsa setajam bilah trisula. Jadi jelas jika gabungan ketiganya pertanda bahwa si penunggang (Raja/Sultan) adalah tokoh sentral penyeimbang yang mampu mengendalikan setiap unsur kehidupan apa pun, dimana pun. Sebagian berpendapat jika Paksi Naga Liman adalah gambaran keeratan hubungan dengan Mesir sebagai daerah asal usul Syarif Hidayatullah yang dialmbangkan dengan Paksi, Cina sebagai daerah yang pernah mengisi sejarah kehidupan Syarif Hidayatullah yang dilambangkan dengan Naga, dan India sebagai daerah yang banyak memberikan budaya dan agama yang dilambangkan dengan Liman. Ketiga Negara ini sangat erat hungannya dalam niaga dan pertukaran budaya. Syarif Hidayatullah sendiri memperlakukan sama antara pribumi dan pendatang, bahkan pendatang banyak mengambil andil dalam perkembangan budaya Cirebon. Terbukti hingga sekarang Cirebon adalah surga bagi komunitas Tionghoa, Arab dan India.

SEJARAH PERANG KEDONDONG


Syahdan, karena menolak tunduk terhadap tekanan pemerintah kolonial Belanda, Pangeran Raja Kanoman memilih melepaskan takhta kesultanan. Haknya sebagai sultan dilepas begitu saja. Putra mahkota Sultan Kanoman IV itu keluar dari keraton, lalu bergabung dengan rakyat Cirebon yang menentang Belanda.


Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda kian sengit. Di sana-sini terjadi pemberontakan. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000,00 Gulden. Ribuan prajuritnya pun tewas.


Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda sampai harus menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan.Mereka diangkut dengan menggunakan enam kapal perang besar dan mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

CERITA RAKYAT TENTANG BAGUS RANGIN



Diceritakan oleh informan bahwa ada seorang dalang dari Beber yang bernama Sabdani, yang mendalang dengan lakon cerita Bagus Rangin. Informan itu mendengar pada saat mereka menonton wayang ketika waktu kecil di klenteng-klenteng di daerah Jatiwangi. Tokoh Bagus Rangin muncul dalam cerita wayang Babad Bantar Jati, yang menceritakan Pangeran Kornel yang membantu ...Belanda dalam memberantas kaum pemberontak yang dikepalai Bagus Rangin. Bagus Rangin adalah pemberontak yang memihak kepada rakyat. Bagus Rangin memusatkan strateginya di Jati Tujuh di Bantar Jati yang sekarang sudah menjadi kecamatan. Desa itu dinamakan Jati Tujuh karena memang disana ada pohon jati berjumlah tujuh. Karena memihak rakyat inilah Bagus Rangin dianggap sebagai pemberontak. Pangeran Kornel memihak kepada Belanda berhadapan dengan Bagus Rangin. Karena terdesak, Bagus Rangin mundur dari Bantar Jati menuju Panongan, Wanasalam, Salawana, Cibogo dan sebagainya. Karena terdesak, ada salah satu pengikut Bagus Rangin yang tertangkap dan dipenggal kepalanya oleh pasukan Pangeran Kornel. Namun, yang terjadi adalah kepala pengikut Bagus Rangin berubah menjadi kepala ikan Odong (ikan gabus). Bagus Rangin terus mundur tetapi tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah. Bagus Rangin selalu mendapat dukungan dari masyarakat yang dilaluinya. Bahkan masyarakat dengan sukarela menyembunyikannya apabila terjadi bahaya. Perlindungan yang diberikan Bagus Rangin bahkan sampai ke Indramayu. Akan tetapi atas perintah dari Belanda, Sultan-Sultan Cirebon beserta Pangeran Kornel mencari dan melawan Bagus Rangin, bahkan sempat dikepung. Namun karena saktinya Bagus Rangin selalu bisa mengelak dan luput dari pengejarannya. Pertempuran besar pernah pula terjadi di daerah Kadongdong, di daerah Indramayu. Alasan Bagus Rangin memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda karena rakyat kelaparan dan pemerintah Hindia Belanda bertindak sewenang-wenang. Rakyat marah dan berontak. Bagus Rangin dianggap pemimpinnya. Jadi sebenarnya yang memberontak bukan Bagus Rangin, tetapi rakyat Cirebonlah yang memberontak. Pada saat timbul paceklik dan tidak ada yang membela rakyat inilah muncul seorang pemimpin yang mendapat dukungan dari rakyat. Dimana pun Bagus Rangin berada selalu mendapat dukungan dari rakyat. Bahkan rakyat pun melindunginya ketika dilakukan pengejaran untuk menangkapnya. Wajarlah bila Bagus Rangin ini tidak dapat ditangkap dan tidak mau menyerah. Menurut dongeng orang-orang Bantar Jati, Bagus Rangin wafat dan dimakamkan di makam di desa Depok di Jatiwangi.